Amnesty International, satu lembaga pembela hak azasi manusia internasional, menyerukan agar dilakukan penyelidikan independen guna meneliti penggunaan bom kluster oleh pasukan koalisi.
Sejauh ini, kritikan yang bagaimana pun belum mampu untuk menarik perhatian masyarakat dunia untuk menelusuri berapa sebenarnya penduduk sipil yang mati akibat ledakan bom kluster setelah perang usai total.
Pentagon bahkan hanya mengakui satu kasus yang tercatat tewas akibat bom kluster di Iraq tahun ini. Ini secara luar biasa amat rendah jumlahnya.
Untuk memulai mengisi kevakuman informasi ini satu lembaga riset internasional Selasa (6/5) telah menyiarkan analisa komprehensif pertama di dunia mengenai jumlah kematian yang ada hubungannya dengan bom kluster.
Sejak dimulainya agresi ke Iraq, Iraq Body Count (Lembaga yang Menghitung Korban di pihak Irak) telah menghimpun angka-angka korban sesuai dengan laporan tentang jatuhnya korban sipil di Iraq karena aksi militer AS.
Laporan itu didasarkan pada himpunan laporan yang disiarkan berbagai sumber penting media di seluruh dunia.
Tim riset tersebut terus memperbarui prakiraannya setiap waktu. Kini lembaga itu melaporkan lebih dari 100 insiden terpisah yang melibatkan sampai 2.700 jiwa warga sipil.
Di antara kejadian itu termasuk sejumlah laporan yang dapat dipercaya bahwa sekurang-kurangnya 200 penduduk sipil mati karena bom kluster. Masih banyak korban yang jatuh akibat bahan peledak yang tidak meledak (bukan bom kluster), yakni 147 orang tewas akibat bahan peledak tersebut. Sekitar setengah dari jumlah itu adalah anak-anak – yang mungkin tidak tahu bahwa benda yang dimain-mainkannya adalah bahan peledak.
AS terus menuduh negara lain menggunakan stigma ‘senjata kimia’ atau ‘senjata pemusnah massal’. Kenyataannya, negara yang mengaku sebagai kampiun demokasi ini memakai sendiri senjata terlarang. (wp/ant/cha)