18 September 2005
Hidayatullah.com—Pemerintah Malaysia sedang menyiapkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Keluarga Islam yang memperketat para suami yang
berniat menikah lagi. RUU Keluarga Islam ini, konon katanya, sebagai
alat untuk melindungi para istri dari para suami yang ingin menikah
lagi lebih dari satu.
Sikap pemerintah Malaysia ini disampaikan Menteri di Jabatan Perdana
Menteri Abdullah Md Zin, Jum’at, (16/9) kemarin memberikan bantuan
zakat Baitulmal Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan (MAIWP) yang
bernilai 6 juta ringgit kepada 15 lembaga sosial, rumah sakit dan
sekolah-sekolah.
Menurutnya, RUU itu bukan dimaksudkan untuk menghalangi para suami
menikah lagi. Hanya, sebagai bentuk perlindungan para istri agar tak
merasa dianiaya dan agar para suami bisa bersikap adil setelah menikah
lagi.
Menurut Abdullah, RUU ini berlaku bagi mereka-mereka yang menikah diluar Malaysia.
"Mereka tetap kena daftar, mereka akan kena denda seperti biasa.
Sekarang yang penting kita akan bela nasib isteri teraniaya, “ujarnya
seperti dikutip Kantor Berita Bernama, Malaysia.
Menurut Abdullah, RUU ini akan mulai dibahas dalam persidangan Dewan
Rakyat minggu depan. Diantaranya isinya RUU itu, antara lain, para
lelaki Islam yang ingin berpoligami perlu membagi dulu harta dengan
isteri pertama.
Selain itu, alasan lain menikah lagi haruslah karena beberapa syarat.
Diantaranya, karena faktor kemandulan, keuzuran jasmani, sengaja ingkar
dari mematuhi perintah hak persetubuhan atau gila di pihak isteri.
Menurut Abdullah, hampir tak ada negeri-negeri di seluruh Malaysia yang
menolak usulan RUU ini. Bahkan Trengganu dan Kelantan, dua negeri yang
dianggap telah menerapkan syariat Islam dikabarkan tengah mengkajinya.
RUU Keluarga Islam ini juga tengah menyiapkan rancangan di mana para
istri pertana boleh mengajukan tuntutan harta meskipun dirinya tak
diceraikan oleh suami mereka yang telah berpoligami.
Meski Islam membolehkan umatnya menikah lagi (ta’adud) dengan dibatasi
sampai empat istri saja, tak semua pemeluk Islam di negeri-negeri
Muslim mempraktekkannya, kecuali hanya sebagaian kecil saja.
Sikap pemerintah Malaysia ini sudah cukup baik, dibanding para aktifis
gender dari Barat yang menolak ta’adud hanya karena alasan Hak Asasi
Manusia (HAM) di mana lebih berstandar Barat. (Bernama/cha)