Jum’at, 14 Oktober 2005
Hidayatullah.com–Masih ingat muslimah pemberani bernama Merve Safa Kavakci?, mantan anggota parlemen asal Turki yang dipecat karena dianggap telah mengenakan jilbab di ruang sidang enam tahun lalu.
Akibat kegigihannya untuk tetap mengenakan busana muslimah tersebut, mengakibatkan pemerintah Turki mencabut kewarganegaraannya.
Akibat sikap diskriminatif pemerintah sekuler Turki sersebut, Kavakci terpaksa harus hengkang dari negerinya sendiri dan hidup di Amerika.
Beberapa saat yang lalu, pasca proses negosiasi resmi keanggotaan Turki bergabung ke Uni Eropa (UE) telah membuka kesempatan baginya untuk muncul dan menggugat pemerintah Turki yang dianggapnya telah melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
Pengadilan HAM Eropa kemarin mendengar gugatan Partai Kebajikan (Fazilet Partisi) yang dibubarkan pada 2001.
Selain dirinya, penggugat lain adalah para tokoh partai itu, yakni mantan ketua Mehmet Recai Kutan, Nazli Ilicak, serta Mehmet Silay. Tiga nama itu pernah dibatalkan keanggotaan parlemennya dan dilarang jadi anggota parpol selama lima tahun.
Penggugat menganggap pembubaran itu pelanggaran atas Konvensi HAM Eropa, termasuk kebebasan memilih, berekspresi, berserikat, dan berkumpul, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Partai yang didirikan pada 1997 itu pernah menjadi oposan terbesar. Sebab, meraup 24 persen suara saat pemilu kota pada 1999 serta hampir 15,5 persen saat pemilu nasional. Ketika dibubarkan, partai itu punya 100 kursi di parlemen.
Setelah pelarangan, banyak yang berpindah ke Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Yang luar biasa, partai yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan ini kemudian menang mutlak. Erdogan sempat akan diganjal juga oleh kaum sekularis garis keras ketika akan menduduki kursi PM. Yang menarik juga, istri Erdogan selalu berjilbab di tempat umum.
Sekularisme Turki
Kavakci dan tokoh-tokoh dari Partai Kebajikan (Fazilet Partisi) pernah menganjurkan pemakaian jilbab di universitas negeri dan instansi pemerintah. Fazilet Partisi sebelumnya dikenal sebagai partai penentang hukum sekuler di negeri itu, termasuk larangan berjilbab di kantor pemerintah atau sekolah.
Tak hanya dikeluarkan dari parlemen, pejuang jilbab ini juga dituduh telah menghina negara lantaran sikapnya tak melepas kerudung. Kavakci dipaksa diusir dari fakultas kedokteran tempatnya studi di Universitas Ankara.
Mayoritas warga Turki sesungguhnya beragama Islam. Pihak militer atas dukungan Barat dan Eropa telah menjadikannya berfaham sekuler. Negara, bahkan melarang para wanita mengenakan kerudung di kantor-kantor publik dan universitas-universitas.
Pemakaian busana muslim itu, menurut pemerintah Turki dituduh sebagai melanggar prinsip-prinsip sekulerisme yang dianut oleh negara.
Pasca runtuhnya, Khilafah Islamiyah (Kekhalifahan Usmaniyah/Ottoman) terakhir di Turki pada tahun 1924 dan terpilihnya Kemal Ataturk tahun 1923, yang lebih memilih sekularisme dan Barat, Agama adalah masalah yang tak boleh terlihat di ruang publik.
Masjid-masjid yang indah itu hanya kemudian menjadi saksi bisu kebesaran Khilafah Islamiyah (Kekhalifahan Usmaniyah/Ottoman).
Demi sekularisme, Kamal Attaturk bahkan menjadikan faham sekularisme dengan cara paksaan. Tahun 1928, pemerintah Turki bahkan secara resmi menerapkan penggunaan abjad latin menggantikan huruf Arab yang selama ini dipakai di negara itu.
Pemerintah juga menghapus pendidikan berbasis agama
(madrasah), melarang pemakaian jilbab atau turban dan jubah bagi pria
di tempat umum dan bahkan kumandang azan.
Karena itu, meski masjid besar bertebaran di seantero Turki adzan jarang terdengar.
Meski demikian, semangat Islam masyarakat Turki tak pernah padam sampai hari ini. Terbukti semakin berkembangnya gerakan Islam dan tokoh-tokohnya. Salah satu tokoh Islam Turki yang kini terus melahirkan ide-ide besar adalah Harun Yahya.
Gagasan sekularisme dan keberhasilan yang memisahkan agama dan negara dan melarang agama tidak boleh di ruang publik itulah yang kini sedang digagas anak-anak muda Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). (afp/hid/cha)