Hidayatullah.com—Sebagaimana dikutip Kantor Berita BBC, ribuan warga Katolik melakukan demonstrasi di dua kota Filipina selatan hari Senin, sehari setelah pengumuman perjanjian.
Walikota ZamboangaCelso Lobregat, hari Senin, memimpin 3.000 orang dalam sebuah protes di dewan kota. Toko-toko yang biasa menjadi sasaran serangan kelompok Muslim ditutup selama sehari.
Pemrotes memegang spanduk bertuliskan, "Gloria, Jangan Menjual Kami." Mereka memohon kepada Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Para politisi Katolik di Filipina selatan telah mendesak Mahkamah Agung untuk menghentikan upacara penandatanganan itu. Menurut mereka, perjanjian itu belum dibicarakan dengan mereka.
Menurut para politisi Katolik, penandatanganan perjanjian perdamaian tersebut dapat menimbulkan kekerasan sektarian baru.
Bagi kaum Katolik, langkah perjanjian itu akan membentuk daerah kantung Muslim Mindanau.
"Jangan membangun tembok Berlin diantara orang Mindanau," kata Celso Lobregat, walikota Zamboanga, di depan sekitar 10.000 orang.
Mahkamah Agung meminta kedua belah pihak untuk mengajukan kasusnya pada tanggal 15 Agustus.
Perjanjian itu dimaksudkan untuk secara resmi membuka kembali proses perdamaian guna mengakhiri konflik hampir 40 tahun.
Kepala Militer Jenderal Alexander Yano menegaskan, pihaknya akan menghadapi berbagai ancaman yang dilancarkan oleh sekelompok orang yang tidak puas dengan keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan rencana perjanjian damai itu.
Penasehat proses perdamaian kepresidenan Hermogenes Esperon, yang juga mantan kepala militer, menyangkal tuduhan bahwa pemerintah menyerahkan wilayah selatan Filipina kepada kelompok pemberontak Muslim.
"Tidak ada kedaulatan yang diberikan. Hal ini demi Mindanao dan negara. Lebih baik melakukan dialog daripada berperang," katanya.
Tak lupa, pejabat Amerika Serikat (AS) juga ikut-ikutan berkomentar. Bagi AS, menurut perjanjian perdamaian ini dapat mengubah kawasan selatan Filipina yang kaya akan sumber alam menjadi pusat ekonomi.
Sebelumnya, baik MILF dan pemerintah Manila sudah menyepakati meraih perjanjian pada November 2009 namun batas waktu tetap tidak dipatuhi dalam pertemuan selama lebih sepuluh tahun. [bbc dan beberapa sumber/cha/hidayatullah.com]
Foto politisi Erico Fabiandi di depan kantor Mahkamah Agung Filipina [afp]