Hidayatullah.com—Bagi pemerintahan China, kekerasan di Xinjiang yang telah menyebabkan kematian ratusan orang bukanlah sengketa agama, apalagi disebut sebagai pelanggaran HAM. Pernyataan ini disampaiakan Jurubicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang dalam keterangan pers berkala di Beijing pada Selasa kemarin.
“Kekerasan di Xinjiang bukan merupakan pelanggaran agama tertentu atau hak asasi manusia, tapi disebabkan oleh keinginan sejumlah pihak memisahkan diri dari Cina,” katanya.
China mengaku, negerinya sangat menghormati agama Islam, yang dipeluk masyarakat Uigur, yang merupakan masyarakat besar di Xinjiang, dan menghormati keberadaan agama itu di wilayah China baratlaut tersebut.
Qin Gang mengatakan pula bahwa tindakan keras pihak berwenang di kawasan itu terhadap pemberontak juga bukan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tapi semata ingin menegakkan hukum.
“Kita tidak memberikan ruang terhadap gerakan pemisahan di Xinjiang. Sekali lagi, kekerasan itu bukan sengketa agama atau pelanggaran hak asasi manusia, tapi akibat pemberontakan,” katanya.
Untuk itu, katanya, China berharap negara dengan sebagian besar penduduk beragama Islam memahami keadaan di Xinjiang, karena kekerasan itu bukan bentuk kekerasan terhadap Islam.
China, katanya, bahkan mengajak seluruh negara di dunia bersama-sama memerangi terorisme dan tidak mendukung berbagai tindakan pemisahan diri.
“Kami mengajak semua negara bersama-sama memerangi terorisme, yang mengganggu stabilitas nasional suatu negara,” katanya.
Keadaan terahir di wilayah Xinjiang tercatat, polisi China menembak mati dua orang pada Senin dalam kerusuhan baru di wilayah Xinjiang, kata media pemerintah, setelah setidak-tidaknya 184 orang tewas dalam kekerasan pada pekan lalu.
Radio pemerintah menyatakan dua yang tewas di ibukota wilayah itu, Urumqi, adalah warga suku Uigur. Polisi berusaha mencegah serangan warga lain Uigur ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan, kata laporan tersebut.
Dari korban tewas akibat kerusuhan 5 Juli, 137 orang dari suku Han, yang merupakan bagian besar dari 1,3 miliar jiwa penduduk China, dan 46 adalah warga Uigur, yang beragama Islam di Xinjiang dan punya hubungan kebudayaan dengan Asia tengah dan Turki.
Di sisi lain, pemerintah Tiongkok menampik prospek bahwa kerusuhan yang melibatkan warga Uighur Muslim di Tiongkok barat akan merusak hubungan Tiongkok dengan negara-negara Islam. China juga mengabaikan keberatan berbagai Negara Islam atas kasus yang menimpa Muslim Xinjiang.
Penindasan
Sebelum ini, hampir 1.300 orang Muslim telah ditahan oleh pemerintahan oleh pasukan pengaman China dengan tuduhan “terorisme dan ekstrimisme keagamaan”, sebuah tuduhan tidak main-main yang sering dialamatkan pada kaum Muslim.
Pemerintahan China sering menerapkan kebijakan yang sangat keras kepada kaum Muslim Xinjiang yang sejak 1955 telah menjadi wilayah otonom. Sikap keras Beijing ini dirasakan kaum Muslim yang berakibat ingin melepas diri dari ‘jajahan’ pemerintah Komunis untuk hidup mandiri. Namun, nampaknya, di wilayah yang dikenal memiliki sumber daya alam –dengan kekayaan minyak bunyi dan cadangan gas dibawahnya—membuat pemerintahan China tak akan melepaskannya. [cha, berbagai sumber/hidayatullah.com]