Hidayatullah.com–Dalam sebuah wawancara dengan Epoch Times, Shohret memperkenalkan dirinya sebagai seorang dosen yang bekerja pada Universitas Xinjiang di Urumqi, dan kini sanak keluarga serta sahabat-sahabatnya masih berada di Urumqi.
Sebuah wilayah pemukiman di Urumqi yang disebut Horserace Track (Sai Ma Chang dalam bahasa Mandarin) dikepung polisi, dan penduduk laki-lakinya dikumpulkan di lapangan, menurut sebuah artikel berjudul “Tight Security in Xinjiang” yang diterbitkan oleh radio Free Asia, 6 Juli lalu.
Menurut Shohret, sebuah pembantaian telah terjadi di tengah kegelapan malam pada 5 Juli. Masyarakat Horserace Track lenyap. Banyak yang terbunuh dan ada sebagian dari mereka melarikan diri.
“Seluruh lampu penerangan dipadamkan dan hanya terdengar bunyi tembakan senjata mesin, sehingga sulit diketahui berapa banyak di antara mereka yang terbunuh dan bagaimana pun orang-orang tidak akan pernah menemukan mereka.” ujar Shohret.
“Pada 7 Juli, Partai Komunis China (PKC) telah menghasut China Han untuk turun ke jalan-jalan dengan membawa tongkat dan pentungan. Saya sangat menyesalkan mengatakan bahwa China Han menggunakan alasan balas dendam untuk membantai orang-orang Uighur, tak peduli pria, wanita maupun anak-anak. Mereka yang terluka maupun yang masih sekarat digilas truk, diangkut, dan dikubur secara masal,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Karena banyaknya jumlah warga Uighur yang ditangkap, pihak berwenang setempat tidak dapat menahan mereka seluruhnya di Urumqi, sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke wilayah-wilayah lain. Mereka dipukul dan disiksa dengan keji oleh tentara komunis. Banyak di antara mereka yang meninggal beberapa hari setelah mereka dibebaskan.”
Shohret mengatakan, ia mengetahui dari beberapa kamp konsentrasi yang bertempat di Hetian, Shihesi, dan Kashi.
Ketika berbicara pada “Forum 60 Tahun Kediktatoran Komunis” yang disponsori Epoch Times, Sabtu (17/10), di Melbourne, Australia, Sohret mengatakan bahwa konflik antara orang-orang Han dan para pekerja Uighur di kota Shaoguan, Provinsi Guangdong dan kekerasan 5 Juli di Xinjiang, benar-benar telah menghancurkan khayalan menyesatkan dari PKC.
Kini ia baru menyadari, bagaimana PKC merampas negeri dan kebudayaan orang-orang Tionghoa, setelah membaca ‘Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis,’ serangkaian editorial yang diterbitkan oleh Epoch Times.
Aksi 5 Juli di Xinjiang tersebut dipicu oleh konflik antara China Han dengan Uighur di selatan kota Shaoguan, Provinsi Guangdong, China, atas sebuah artikel pada blog yang mengatakan, enam orang Uighur telah memperkosa dua gadis Han. Kemudian dimunculkan menjadi rumor. Dua orang Uighur tewas dan lebih dari seratus orang luka-luka selama konflik tersebut.
Shohret menyatakan bahwa akar penyebab konflik etnis tersebut merupakan rekayasa komunis dalam perjuangan kelas, dan ini merupakan tragedi bagi bangsa Tionghoa, menggunakan konsep itu sebagai alasan untuk bertindak, memusnahkan kaum minoritas maupun mengelabui kaum mayoritas.
Ia mengatakan, PKC telah memanipulasi sentimen patriotisme orang-orang Tionghoa: “Ketika PKC berbicara tentang patriotisme, kaum minoritaslah yang dikorbankan. Anda dianggap sebagai seorang penjahat jika Anda berbicara lantang atas kelompok etnis Anda sendiri.”
Shohret mengatakan, “Kebudayaan Tiongkok Kuno lima ribu tahun menekankan keharmonisan, ‘langit dan bumi adalah satu’. Sebagai seorang warga Uighur, ia dididik dengan budaya Han, dan diakui China Han. Namun, PKC secara bertahap, telah menciptakan konflik antara Han dan Uighur. Kebudayaan China saat ini hanyalah seputar PKC dan perjuangan kelas.”
“Ini merupakan sebuah tragedi, kini saya berhenti di tengah-tengah. Saya menghendaki hubungan yang baik dengan warga Han, namun saya tidak bisa mengkhianati orang-orang Uighur, saya harus mencintai mereka juga,” ujar Shohret.
Pada “Forum 60 Tahun Kediktatoran Komunis” Shohret juga menyerukan kepada publik untuk memperhatikan masyarakat Uighur, orang-orang Tionghoa, dan nasib Tibet, serta menambahkan bahwa “Kita semuanya memiliki hubungan dekat, kita harus saling memahami, dan menghormati antarkelompok etnis maupun antarnegara-negara yang berbeda.”
Shohret kini tinggal di Adelaide, Australia Selatan. Ia merasakan perbedaan yang sangat besar antara tinggal di Australia dan China, tempat ia merasa takut mengungkap fakta kebenaran di Xinjiang. Sedangkan di Australia ia dapat berbicara kebenaran dengan jujur, serta apat tinggal dalam suatu kehidupan yang penuh martabat.
Dalam forum tersebut, Shohret juga mengumumkan pengunduran dirinya dari Pionir Muda, sebuah organisasi afiliasi PKC. Ia juga akan menyarankan kepada ibunya untuk mundur dari PKC dan organisasi-organisasi afiliasinya. [et/hidayatullah.com]