Hidayatullah.com–Industri keuangan syariah saat ini mengalami perkembangan yang cukup menjanjikan. Namun Indonesia yang notabene sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia belum bisa menjadi pelaku utama di industri ini.
Pernyataan ini disampaikan Prof. Dr. Shabri Abd. Majid dalam diskusi Islamic Economic Forum for Indonesia Development (ISEFID) hari Jumat, (15/10) di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM).
Shabri membedakan kondisi ini dengan negara Malaysia, di mana pemerintah justru menjadi motornya.
“Motor penggerak utama pertumbuhan industri keuangan syariah di Malaysia adalah pemerintah,” ungkapnya.
Semenjak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama 17 tahun yang lalu, pangsa pasar perbankan syariah masih saja belum bisa menembus angkat 3 persen. Bahkan total assetnya baru mencapai sekitar Rp 75 trilliun. Hal ini jauh berbeda dengan yang terjadi di Malaysia, dengan hanya butuh waktu sekitar 28 tahun, pangsa pasar perbankan syariah di Malaysia sudah mencapai 20 persen dengan total asset 65.6 miliah dolar AS atau setara dengan Rp 590 trilliun.
Pemerintah Malaysia bahkan dinilai sangat serius dalam menjadikan negerinya sebagai pusat keungan syariah di dunia.
Semenjak berdirinya tabung haji Malaysia tahun 1963, langsung 6 tahun kemudian undang-undanganya juga turut dibuat.
“Pertumbuhan industri keuangan syariah di Malaysia tidak terlepas juga dari dukungan legalitas yang lengkap,” ibuhnya.
Kondisi ini relative berbeda dengan di Indonesia di mana industri keuangan syariah lebih banyak digerakkan dengan pendekatan botton up serta regulasi yang masih sangat kurang mendukung. Akhirnya perkembangan industri keuangan syariah belum bisa membanggakan.
“Indonesia dengan negara Muslim terbesar, setiap isu terkait dengan undang-undang perbankan syariah selalu ditarik-tarik ke isu agama, berbeda dengan Malaysia yang sudah menjadikan perbankan syariah sebagai bagian penting dalam perekonomian nasional,” ungkap dosen Fakultas Ekonomi IIUM asal Aceh ini.
Hal menarik, tambahnya, adalah perkembangan industri syariah di Malaysia tidak terlepas dari faktor keturunan. Gubernur Bank Negara Malaysia sekarang, Dr. Zeti Akhtar adalah cucu dari Prof. Diraja Dr. Ungku Abdul Aziz yang notabene adalah orang yang pertama kali membuat proposal berdirinya Tabung Haji Malaysia.
“Bank Negara Malaysia menjadi lembaga yang paling agresive dalam menjadikan Malaysia sebagai pusat industri keuangan dunia,” ungkap peraih peneliti terbaik 2010 di IIUM ini.
Meskipun Malaysia saat telah menjadi pelaku utama dalam industri keuangan global, namun banyak pakar ekonomi Islam yang mengkritiknya khususnya isu tentang “syariah compliant”. Malaysia tidak terlalu ketat dalam hal masalah syariah compliant, misalnya pada produk bai’ al-inah yang diterapkan yang masih dierdebatkan kebolehannya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dalam presentasi penelitiannya dihadapan para mahasiswa yang kebanyakan mahasiswa s2 dan s3, tentang seberapa besar kontribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Malaysia, beliau menemukan bahwa industri keuangan syariah Malaysia berpengarush significant terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia.
Sementara itu Ali Rama selaku Sekjen ISEFID (2009-2010) dalam closing statementnya saat memoderatori acara tersebut mengungkapkan meskipun pangsa pasar industri keuangan syariah di Indonesia masih relative kecil, para mahasiswa dan akademisi harus terlibat secara aktif dalam penelitian-penelitian ekonomi Islam sebagai kontribusi dalam pengembangan ekonomi Islam di tanah air.
“Saat yang bersamaan kita harus menagih keseriusan pemerintah yang telah mencanankan pengembangan keuangan syariah sebagai agenda nasional,” tutupnya.[ar/hidayatullah.com]