Hidayatullah.com—Ada kesan umat Kristen Suriah berdiri di sisi rezim Presiden Bashar Al-Assad, namun menurut jurubicara kelompok oposisi, Kristen Suriah juga terlibat aktif dalam revolusi lewat politik dan media.
George Sabra, jubir Dewan Nasional Suriah, dalam wawancara di acara Nuqtat Nizam di televisi Al Arabiya (03/02/2012), menjelaskan bahwa umat Kristen Suriah tidak berpartisipasi dalam revolusi secara massal.
Terkait dengan peran gereja, Sabra menjelaskan, alasan utama mengapa Kristen Suriah tidak turun ke jalan-jalan untuk berdemonstrasi adalah karena gereja tidak mengambil sikap yang jelas. Sejumlah tokoh gereja terdengar mengutarakan kekhawatirannya akan keadaan umat Kristen di Suriah.
Namun menurut Sabra, seharusnya Kristen Suriah tidak membandingkan nasib mereka dengan keadaan yang dialami umat Kristen di Iraq pascarezim Saddam Hussein. Sebab, sejarah Suriah berbeda dengan Iraq.
Sabra menambahkan, selama periode demokrasi, kehadiran umat Kristen di kancah politik melebihi kehadiran sosialnya, di mana jumlah populasi mereka rendah. Arti penting umat Kristen di bidang politik ditunjukkan dengan perannya dalam masyarakat, di mana mereka terlibat saat kondisi baik maupun buruk.
Terkait dominasi Al Ikhwan di Dewan Nasional, Sabra mengatakan bahwa kelompok Islam di Suriah bersifat moderat dan Al Ikhwan Suriah sendiri menyatakan sebagai kekuatan yang moderat.
Di pihak lain, Sabra menyanggah pernyataan Uskup Agung Katolik Roma di Aleppo Jean Jean-Bert yang menyatakan bahwa ia tidak mempercayai otoritas Sunni (Muslim) ekstrimis. Menurut Sabra, pernyataan itu keliru, sebab pada awal masa kemerdekaan Suriah di pertengahan tahun 1940-an, Muslim dalam beberapa kesempatan menominasikan perdana menteri dan jurubicara parlemen dari kalangan minoritas Kristen Protestan, yang mereka panggil sebagai “bos”.
Lebih lanjut Sabra menyatakan bahwa Dewan Nasional memiliki sejumlah kelemahan, antara lain di tingkat pembuatan keputusan. Dan kelemahan itu menjadi tanggungjawab dari Presiden Dewan Nasional Burhan Ghalioun.
Patut diketahui bahwa Sabra, yang meninggalkan Suriah akhir tahun 2011, pernah dipenjara selama delapan tahun saat rezim Hafiez Al Assad berkuasa dan ia pernah ditahan pada masa revolusi ini. Sabra menjadi salah satu calon kuat pengganti Ghalioun, jika mandat kepemimpinannya di Dewan Nasional berakhir.*