Hidayatullah.com—Impian rakyat Mesir akan demokrasi setelah rezim Husni Mubarak mulai terbuka. Namun kini, Mesir terancam kembali ke masa lalu setelah Mahkamah Agung memutuskan parlemen hasil pemilu terbaru inkonstitusional dan calon presiden bekas kroni Mubarak, Ahmad Shafiq, boleh terus bertarung dalam pemilihan umum.
MA hari Kamis (14/6/2012) memutuskan bahwa pemilihan parlemen tahun 2011, yang dimenangkan partai-partai Islam, tidak konstitusional dan harus diulang.
Hal itu membuat Dewan Tertinggi Militer (SCAF), sebagai penguasa sementara pascakejatuhan Mubarak, kembali memegang wewenang legislatif.
Capres Al Ikhwan, Muhammad Mursy, sebagaimana dilansir Al Arabiya, hari Kamis kemarin mengatakan bahwa dirinya menghormati keputusan MA, meskipun dinilai “tidak memuaskan.”
Namun, pernyataan Al Ikhwan seperti dikutip BBC (15/6/2012) mengatakan, keputusan MA itu mengindikasikan Mesir tengah menuju “hari-hari yang sulit yang mungkin lebih berbahaya dari hari-hari terakhir kekuasaan Mubarak.”
“Semua upaya revolusi demokratis mungkin akan terhapus dengan mengembalikan kekuasaan ke simbol era sebelumnya,” kata Al Ikhwan dalam pernyataannya.
Capres independen yang terdepak di babak awal yang merupakan mantan petinggi Al Ikhwan, Abdul Munim Abul Futuh, mengatakan bahwa pembubaran parlemen merupakan “sebuah kudeta.”
Sementara Partai An Nur, pemenang kedua pemilu parlemen akhir tahun lalu, mengatakan keputusan MA itu sebagai “sebuah penghinaan atas kebebasan para pemilih.”
Rakyat yang kecewa pun kembali memenuhi Lapangan Tahrir. Mereka berbondong-bondong menyemut di lapangan bersejarah di Kairo itu, guna memprotes keputusan MA yang memerintahkan pembubaran parlemen dan memperbolehkan Ahmad Shafiq maju terus sebagai capres di pemilu putaran kedua besok lusa.
Kelompok yang bersorak dengan keputusan MA tersebut tentu para pendukung Shafiq dan bekas kroni-kroni Husni Mubarak.
Shafiq, yang menang putaran pertama dengan dukungan mayoritas dari warga Kristen Mesir (Koptik) dan simpatisan Mubarak, seakan mendapatkan bahan bakar tambahan dengan adanya putusan MA yang membolehkan dirinya maju terus sebagai calon presiden.
Mengaku menjadikan Husni Mubarak sebagai panutannya, Shafiq berjualan “negara sipil” dalam setiap kampanye presidennya, meskipun pada kenyataannya ia memiliki latar belakang militer.
Para penentang Shafiq berpendapat, meskipun ia hanya sejenak masuk dalam jajaran pemerintahan Mubarak sebagai perdana menteri, namun tangannya ikut kotor bersimbah darah dalam kasus pembunuhan para demonstran penentang rezim Husni Mubarak awal tahun lalu.*