Hidayatullah.com–Pasukan kelompok Islam dikabarkan telah menguasai kota penting Gao di Mali Utara setelah melewati baku tembak menghadapi pasukan pemberontak Tuareg.
Setidaknya 20 orang tewas dalam baku tembak itu dan pemimpin gerakan politik Tuareg dikabarkan menderita luka.
Seorang juru bicara Gerakan Nasional Tuareg untuk Kemerdekaan Azawad (MNLA) dikutip BBC membenarkan kabar terlukanya Bilal Ag Cherif akibat bentrokan itu.
Dia mengatakan luka-luka itu tak membahayakan nyawa Bilal yang kini berada di negeri tetangga untuk mendapatkan perawatan medis.
Seorang dokter di Gao mengatakan kepada BBC sebagian besar korban tewas adalah anggota kedua kubu yang bersitegang. Namun sejumlah warga sipil terjebak dalam baku tembak itu.
Ketegangan
Ketegangan memuncak sejak pemberontak Tuareg dan kelompok Islam merebut kendali wilayah utara Mali setelah terjadinya kudeta di negeri tersebut.
Baku tembak ini, lanjut Thomas Fessy, menjadi bukti bahwa MNLA dan pasukan kelompok Islam tak bisa mencapai kesepakatan setelah keduanya bekerja sama merebut wilayah tersebut.
Perselisihan itu muncul karena kedua kelompok pemberontak ini menginginkan ideologi berbeda untuk mengendalikan wilayah yang baru mereka kuasai itu.
MNLA berkeinginan wilayah baru ini dijalankan pemerintah sekuler namun kelompok Islam ingin menerapkan Syariat Islam di seluruh wilayah utara Mali.
Bentrokan bersenjata ini menjadi bukti adanya perebutan kekuasaan di wilayah yang luasnya hampir sebesar Prancis itu.
Saat ini sekitar 300.000 orang meninggalkan wilayah utara Mali sejak terjadi pemberontakan di Mali pada 22 Maret lalu..
Ingin Syariah
Seperti diketahui, wilayah utara Mali kini dikuasai suku Tuareg dan kelompok Islam, Ansharudin.
Pemberontak Tuareg dan kelompok Islam, Anshoruddin mengumumkan mereka kini melakukan kerja sama untuk menciptakan pemerintahan Mali Utara sebagai negara Islam merdeka di bawah Syariah.
“Gerakan Anshoruddin dan Gerakan Nasional Pembebasan Azawad (Tuareg MNLA) memproklamasikan negara Azawad (Mali Utara,” demikian pernyataan kedua organisasi ini yang dikirimkan kepada AFP bulan lalu.
Kesepakatan antara kelompok Tuareg yang sekuler dan pemberontak Islam terjadi beberapa pekan setelah diskusi panjang antara dua kelompok yang sejak lama berbeda pandangan, tujuan dan ideologi itu.
Hanya saja yang kurang simpatik, ide pendirian syariah ini diciderai dengan penghancuran situs-situs bernilai sejarah penting milik kaum Muslim sendiri.
Ide pendirian Negara berdasarkan Syariah ini tak urung membuat Barat dan Afrika memperingatkan seolah akan adanya ancaman yang meningkat. Mereka bahkan berharap adanya campur tangan asing untuk merebut kembali kendali wilayah utara, yang memiliki luas seukuran Prancis ini.*