Hidayatullah.com—Gereja Armenia di Turki tidak lagi memberikan pemberkatan atas perkawinan beda agama. Sebuah keputusan yang menimbulkan perdebatan.
Ketika Gereja Armenia pertama kali memberkati perkawinan seorang jemaatnya dengan pasangan beda agama di tahun 2000, keputusan itu juga mengundang kontroversi.
“Kami melaksanakan peraturan hukum yang sudah ada di gereja kami. Saya tidak ingin membuat pernyataan lebih dari ini,” kata pejabat sementara Patriarkh Aram Atesyan kepada Hurriyet Daiy News (11/10/2012) tentang kebijakan baru itu.
Pemberkatan pasangan pengantin beda agama di Gereja Armenia pertama kali dilakukan dengan persetujuan Patriarkh Mesrop Mutafyan pada tahun 2000. Setelah itu gereja pun kerap mengawinkan seorang mempelai beragama Kristen Armenia dengan mempelai beragama lain.
Pemberlakuan kembali peraturan lama yang tidak memberkati pasangan beda agama efektif per tanggal 1 Oktober 2012.
Suara penentangan pun terdengar dari pelaku kawin campur di Gereja Armenia.
Menurut Murat Kaspar, pria 36 tahun editor desain di harian Dunya yang mengawini seorang wanita Muslim Turki bulan lalu di gereja, keputusan terbaru dengan alasan untuk melindungi komunitas Kristen Armenia yang semakin menyusut itu tidak dapat diterima.
“Menurut saya keputusan ini tidak tepat. Menikah di gereja adalah sebuah tradisi. Jika pasangan yang akan menikah saling menghormati kepercayaan masing-masing, maka tidak seharusnya ini dilarang. Saya menentang konservatisme,” kata Kaspar.
Zakariya Mildanoglu, seorang tokoh terkemuka masyarakat Armenia di Turki yang mengawini seorang wanita Muslim sejak 35 tahun lalu berkata, “Kami melalui banyak kesulitan besar. Tapi, meskipun istri saya pindah ikut agama saya, anak-anak kami tidak ada yang dibaptis.”
Meskipun mengalami kesulitan, Mildanoglu mengaku tidak menyesal dan tidak akan berbalik arah.
“Dia [istri Mildanoglu] sangat sedih karena gereja menolak untuk membaptis anak-anaknya,” kata Mildanoglu, “Saya merasa dibatasi.”
Kristin, 33 tahun, yang tidak ingin menyebut nama belakang keluarganya, kesal dengan keputusan terbaru gereja itu. Sebab dalam waktu dekat dia berencana menikah dengan pacarnya yang merupakan seorang pemuda Muslim.
“Saya merasa dibatasi. Saya bahkan tidak ingin menyebutkan nama belakang keluarga saat berbicara dengan Anda. Sebab keluarga dan teman-teman dekat tidak tahu tentang hubungan saya [dengan pacar],” katanya.
“Saya takut mendapat tekanan dari komunitas,” kata Kristen, yang meskipun kesal tapi mengaku mengerti alasan gereja yang ingin melindungi komunitas Kristen Armenia.
Sementara itu menurut seorang wanita lain, Anahid, keputusan gereja itu sangat baik. Wanita berusia 28 tahun itu berkata, “Patriarkh tidak membuat aturan baru. Mereka hanya melaksanakan peraturan yang sebelumnya sudah ada. Terdapat peningkatan serius jumlah perkawinan campur. Warga [Kristen Armenia], tradisi dan budayanya harus dilindungi.”*