Hidayatullah.com—Revolusi bangsa Tunisia gagal, jika tidak dapat menaikkan taraf hidup 2 juta rakyatnya yang berada di bawah garis kemiskinan, kata Presiden Moncef Marzouki kepada Hurriyet Daily News.
“Kami mengalami revolusi ini disebabkan oleh kemiskinan,” katanya, Kamis (30/5/2013) disela-sela kunjungan tiga harinya di Turki.
“Jika kami tidak berhasil mengeluarkan 2 juta rakyat dari kemiskinan, maka revolusi kami gagal. Sebab, memang penting memiliki sebuah negara demokrasi, tetapi lebih penting lagi adalah memberikan rakyat pekerjaan,” kata Marzouki. “Kehormatan tanpa punya pekerjaan dan standar hidup [layak] adalah percuma.”
Saat ini, tahap revolusi di Tunisa masih bergelut soal politik, menyusul ditumbangkannya rezim Zainal Abidin bin Ali yang terkenal dengan sebutan Ben Ali pada pertengahan Januari 2011.
Menurut Marzouki, kemiskinan adalah masalah nasional, di mana partai apapun yang akan memenangkan pemilihan umum akhir tahun ini harus memiliki program pengentasan kemiskinan untuk jangaka waktu lima tahun ke depan.
“Tidak ada yang punya solusi ajaib, jadi kita harus duduk dan memikirkan bersama mengenai beragam cara dan menyatukan ide-ide kita guna membuat rencana memerangi kemiskinan secara nasional,” lanjut Marzouki.
Menyinggung soal pembangunan politik, Moncef Marzouki mengatakan bahwa pusat perhatian utamanya bagi Tunisia adalah mencegah munculnya kediktatoran.
“Kami memiliki masalah itu setelah kemerdekaan,” jelas Marzouki. “[Persiden pertama Habib] Bourguiba merupakan ketua partai, dan dia memiliki semua kekuasaan, semua kursi di parlemen. Dan akhirnya dia menjadi seorang diktator.”
“Jadi kami sangat takut dengan sistem parlementer ini karena pengalaman masa lalu. Kami juga takut dengan sistem presidensial karena kami mengalaminya di bawah Zainal Abidin bin Ali di mana dia juga berubah menjadi diktator,” paparnya.
Sekarang, Tunisia sedang mencari sistem politik yang menyeimbangkan antara kekuatan presiden dengan perdana menteri, sehingga tidak ada yang bisa menjadi diktator.
Dalam kesempatan wawancara itu, presiden Tunisia itu juga berbicara soal perpecahan dalam masyarakat dan masalah keamanan.
Menurutnya, masalah polarisasi di masyarakat merupakan sebuah kenyataan yang harus dilawan.
Menyinggung soal kelompok Salafy yang dinilai melakukan kerusuhan dan kekerasan oleh sebagian kalangan di Tunisia, Marzouki berkata, “Salafy itu memiliki spektrum luas. Dalam masalah ini, di kami juga terdapat orang-orang Salafy tetapi tidak melakukan kekerasan.”
Kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan kata Presiden Moncef Marzouki hanyalah “minoritas kecil”, seraya mengingatkan bahwa pasukan pemerintah jauh lebih kuat dari kelompok-kelompok yang ada di Tunisia itu.
Lebih lanjut Marzouki mengatakan, “Islam di Tunisia moderat selama berabad-abad. Orang-orang ini bukan ancaman bagi stabilitas negara, melainkan ancaman bagi citra bangsa. Meskipun demikian, anda tetap harus mengatasi masalah itu dengan serius.”
Dia menambahkan, masalah kekerasan di masyarakat Tunisia berkaitan erat dengan masalah kemiskinan.
“Dari depan itu seperti [kelihatan] sebagai masalah agama, [tetapi sesungguhnya] anda memiliki masalah sosial.,” kata Marzouki, seraya menyoroti bahwa di kalangan rakyat terbentuk semacam lumpenproletariat (istilah Marxisme, di mana rakyat kelas pekerja yakin tidak akan pernah naik status sosialnya ke tingkat lebih tinggi, sehingga merasa tidak perlu melakukan revolusi -red)
“Para pemuda yang sangat miskin berasal dari daerah pedesaan tanpa pekerjaan. Sebagian dari mereka ada yang pernah dipenjara, memakai narkoba. Dalam [kelompok] teroris mereka menemukan rehabilitasi sosial. Saya selalu mengatakan bahwa kita harus memberikan mereka rehabilitasi sosial. Kita harus menemukan cara untuk memberikan mereka pekerjaan dan sebagainya.”
Mengomentari soal konflik di Suriah, presiden Tunisia itu mengatakan bahwa menurutnya apa yang terjadi di negara tetangga tersebut bukanlah revolusi, melainkan perang sipil. Oleh karenanya, dia menyarankan agar masalahnya diselesaikan secara politik, sebab tidak ada pihak yang akan menang jika saling mengerahkan kekuatan militer.
Soal pihak-pihak asing yang terlibat dalam perang di Suriah Marzouki berkata, “Tentu saja kami tidak percaya bahwa berpartisipasi dalam perang sipil merupakan jihad. Itu hanyalah merupakan perang sipil pihak asing.”
Marzouki menyarankan, lebih baik pihak-pihak yang bertikai di Suriah duduk dalam satu meja untuk mencari solusi.
“Mereka harus saling menerima satu sama lain. Begitu menurut pengalaman kami. Jika anda tidak menerima partai lain, jika anda tidak setuju untuk bekerja bersama, maka anda akan bentrok dan situasinya akan semakin memburuk. Sementara anda saling berperang, keadaan ekonomi semakin parah. Lalu situasi politik juga semakin marah. Akhirnya anda berada dalam keadaan kacau-balau,” pungkas Marzouki.*