Hidayatullah.com—Menyusul kerusuhan dan ketegangan politik di Ukraina, bekas negara pecahan Uni Sovyet itu saat ini bersitegang dengan Rusia terkait krisis di Semenanjung Krimea. Banyak orang umum yang tidak mengerti apa penyebab sebenarnya sehingga Rusia dan Ukraina yang dulu begitu dekat justru sekarang diambang peperangan. Ternyata kebingungan itu juga dirasakan oleh tentara Rusia dan Ukraina.
Dilansir AFP (4/3/2014), seorang prajurit Rusia tidak dapat menyembunyikan air matanya sambil menyandarkan diri ke sebuah pohon, hanya beberapa meter dari pangkalan militer Ukraina di Krimea yang dikepung oleh kesatuannya.
“Anda harus memakluminya, dia malu akan apa yang terjadi di sini,” kata Gulya, ibu dari seorang tentara Ukraina yang ditempatkan di dalam pangkalan militer Bakhchisaray itu.
“Sangat disayangkan kami saling berperang satu sama lain,” imbuh wanita paruh baya itu, yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai “warga negara Ukraina.”
Beralih ke teman tentara Rusia yang menangis itu wanita tersebut berkata, “Kami tidak melawan kalian, jangan takut.”
Ketika ditanya oleh wartawan AFP apakah dia orang Rusia, prajurit bermata biru yang menangis itu mengangguk malu-malu.
Wilayah Ukraina di Semenanjung Krimea yang berada di Laut Hitam itu sudah sepenuhnya dibawah kendali pasukan Rusia dan pasukan milisi lokal pro-Moskow.
Namun di Bakhchisaray, sekitar 30 kilometer arah barat daya ibukota Krimea, Simferopol, suasananya lebih santai, seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan nyaris tenang damai.
Dua puluhan tentara berpakaian seragam kamuflase sambil memanggul Kalasnikov sesekali terlihat mondar-mandir di jalan. Salah satunya bahkan tampak bermain-main dengan seekor anjing.
Bagi para anggota militer Ukraina di dalam pangkalan, tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang berseragam loreng-loreng itu adalah tentara Rusia, meskipun tidak ada emblem yang menunjukkan asal kesatuan dan negara mereka.
“Anda perhatikan saja seragam mereka,” kata deputi komandan pangkalan militer itu Volodymyr Dokuchayev.
Letkol Sergey Stechenko membenarkan bahwa salah satu dari tentara itu “memperkenalkan dirinya sebagai seorang kapten dari Federasi Rusia,” setelah para pria tak dikenal tersebut mengambil posisi di sekeliling pangkalan militer itu.
Ukraina menuding Rusia hari Senin menerjunkan pasukannya lebih banyak ke Krimea, sebuah wilayah Ukraina yang banyak dihuni oleh orang-orang berbahasa Rusia dan merupakan lokasi strategis bagi para tsar (raja) dan angkatan laut Kremlin sejak abad ke-18.
Presiden Rusia Vladimir Putin hari Sabtu mendapatkan restu dari parlemen untuk mengirimkan pasukannya ke Krimea. Alasan pengerahan pasukan oleh Kremlin ke wilayah tetangganya itu adalah untuk melindungi orang-orang Rusia dan sekutunya di Ukraina yang sedang dilanda kekacauan.
“Kami tidak bisa melakukan ini, kami telah bersumpah dan berjanji setia kepada Ukraina,” kata Stechenko, yang mengenakan topi bulu chapka (topi musim dingin, red) meskipun matahari sedang sangat terik.
“Kami harus tetap loyal kepada rakyat Ukraina, ini negeri kami.”
“Mereka tidak semuanya agresif … Mereka tidak ingin menembak kami, kami tidak ingin menembak mereka,” katanya soal sejawatnya tentara Rusia.
Tetapi Stechenko mengakui, “Jika mereka yang memulai menembak, kami akan balas menembak.”
Meskipun dia bertugas di pangkalan militer, Stechenko kelihatan bingung melihat mengapa situasi begitu cepat memanas setelah presiden Ukraina yang dibenci rakyat dan dituntut mundur, Viktor Yanukovych, melarikan diri ke Rusia.
“Secara pribadi, saya tidak tahu,” kata komandan pangkalan itu tentang krisis yang terjadi antara Ukraina dan Rusia.
“Kami berharap ini akan diselesaikan dengan cara damai,” ujarnya.
Bakhchisaray merupakan satu dari beberapa pangkalan militer di Semenanjung Krimea yang dikepung pasukan pro-Rusia sejak akhir pekan kemarin.
Keadaan kelihatan masih normal di beberapa tempat meskipun Rusia-Ukraina bersitegang. Warga setempat yang penasaran ingin tahu terlihat mendekati pangkalan militer Bakhchisaray hari Ahad kemarin. Sebagian dari mereka bahkan mengambil gambar dan berpose dengan para pria yang berseragam tentara.
Di atas, para pemimpin Rusia dan Ukraina boleh saja saling bersitegang dan siap bertempur. Tapi kami yang di bawah ingin keadaan tetap damai. Mungkin begitu pikir mereka.*