Hidayatullah.com—Seorang jurubicara dari Kementerian Dalam Negeri Mesir mengklaim bahwa Al-Ikhwan Al-Muslimun menggunakan tentara-tentara bayaran dari Suriah, Iraq dan Afghanistan dalam seluruh serangan di Mesir belakangan ini, lansir kantor berita pemerintah MENA Ahad (6/4/2014).
Juribicara itu, Hani Abdul-Latif juga mengecam ragkaian kekerasan yang terjadi belakangan ini dan menekankan bahwa polisi akan memakai semua cara yang diperlukan guna melindungi rakyat Mesir.
Abdul-Latif kepada MENA mengatakan bahwa polisi masih terus berupaya melenyapkan “terorisme dalam semua bentuk” dengan membekukan aliran dana , serta mencari bahan-bahan peledak dengan bantuan informasi intelijen.
Menurut Abdul-Latif, ada 2 jenis terorisme di Mesir. Jenis pertama adalah kelompok-kelompok militan yang terdiri dari orang-orang yang pernah beroperasi di Afghanistan, Iraq dan Suriah.
Kelompok semacam itu, katanya, adalah yang paling banyak bertanggung jawab atas pemboman gedung direktorat keamanan di Daqahliya dan semua serangan yang terjadi di Semenanjung Sinai.
Ledakan besar di Daqahliya pada bulan Desember 2013 itu menewaskan 15 orang, serta lebih dari 130 polisi dan warga sipil lainnya luka-luka. Tak lama setelah serangan itu kelompok Ansar Baitul Maqdis mengaku sebagai pelakunya. Polisi kemudian merilis video kesaksian dari beberapa orang yang ditangkap dan diduga sebagai tersangka.
Mengutip laporan Kementerian Luar Negeri bulan lalu Abdul-Latif mengatakan, kelompok militan seperti Ansar Baitul Maqdis, Al-Furqan dan lainnya bertanggung jawab atas serangan-serangan yang belum lama ini terjadi yang menarget aparat keamanan di seluruh penjuru negeri dan menewaskan 252 polisi dan 187 tentara.
Abdul-Latif menjelaskan bahwa peran kelompok-kelompok militan semacam itu adalah melancarkan serangan-serangan tersebut bersama anggota-anggota Al-Ikhwan.
Al-Ikhwan, kata Abdul-Latif, bertanggung jawab atas terorisme jenis kedua, yang mana anggotanya terdiri dari para pemuda dari kelompok Islam yang bertanggung jawab atas kekerasan dan kerusuhan di berbagai universitas negeri di Mesir.
Sejak tahun ajaran baru yang dimulai pada bulan Agustus 2013, sejumlah universitas di Mesir mengalami bentrokan antara pasukan keamanan dengan mahasiswa pendukung mantan presiden Muhammad Mursy.
Abdul-Latif memperkirakan serangan-serangan itu akan meningkat dalam waktu dekat dengan tujuan untuk mengganggu proses pemilihan umum di negara itu yang akan digelar tahun ini.
“Al-Ikhwan melakukan semua cara yang mereka bisa untuk menyebarkan kekacauan ke seluruh penjuru negeri dan kita harus berhanti-hati dengan hal ini,” katanya.
Al-Ikhwan Al-Muslimun secara konsisten membantah tuduhan sebagai pelaku serangan atau terkait dengan kelompok-kelompok pelakunya, serta kerap mengencam aksi kekerasan itu.
Ratusan anggota Al-Ikhwan dan pendukungnya tewas dalam berbagai bentrokan dengan aparat, di mana sebagian besar tewas saat aparat membubarkan 2 kamp besar demonstran pro-Mursy di Kairo pada bulan Agustus 2013.
Menyusul serangan bom di Daqahliya bulan Desember itu, Al-Ikhwan dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan pengadilan memutuskan seluruh aset dan aktivitas organisasi serta cabang-cabangnya di sita dan dibekukan.*