Hidayatullah.com—Israf (menghambur-hamburkan harta) dan berlebih-lebihan adalah hal yang dilarang dalam Islam. Begitu pula meratap (niyahah) saat memperingati meninggalknya sanak-keluarga (mayit). Namun, hal ini akan menjadi masalah lain di China.
Baru-baru ini tepatnya hari Senin (07/04/2014), Gubernur Xinjiang, Nur Bekri, memojokkan kaum Muslim Xinjiang seolah memaksa melarang sebagian warga provinsi itu tertawa di pesta pernikahan dan menangis di pemakaman.
Seperti dikutip harian Xinjiang Daily, Gubernur Nur Bekri mengatakan, perilaku kelompok Islam ini dinilai memanfaatkan kepercayaan warga terutama “orang-orang muda yang belum pernah melihat dunia”.
Xinjiang yang didiami etnis Muslim Uighur, secara tradisional menjalankan Islam. Belakangan ini, semaraknya pendakwah Islam ikut meresahkan pemerintah. Misalnya ketika banyak perempuan Muslim diharusnya mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuh dan wajah mereka.
Nur Bekri, yang juga etnis Uighur, menuding kelompok di Xinjiang berupaya melupakan tradisi dan budaya Uighur dan ingin menerapkan sebuah komunitas teokratis yang ketat.
“Mereka sudah memaksa warga untuk tidak menonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran, menyanyi dan menari. Mereka bahkan melarang orang menangis di pemakaman dan tertawa di pesta pernikahan,” ujar Nur Bekri ujarnya dikutip Reuters.
Menurut Bekri, kelompok ini juga mengharuskan pria memelihara janggut dan perempuan mengenakan burka.
“Mereka juga menuntut tak hanya makanan namun juga kosmetik, obat-obatan dan pakaian halal. Mereka bahkan memaksakan ide bahwa rumah yang disubsidi pemerintah adalah haram dan harus dihindari,” tambah Bekri.
Xinjiang adalah provinsi paling barat China dan berbatasan dengan Asia Tengah. Sebagian besar warga Xinjiang secara tradisional memeluk Islam. Meski kawasan ini kaya sumber daya alam namun selama beberapa tahun terakhir ini dicengkeram aksi kekerasan.
Pemerintah China menuding kelompok Islam ini dan kelompok separatis menjadi biang kerusuhan. Namun, sejumlah tokoh Uighur di pengasingan mengatakan masalah utama di Xinjiang adalah pemerintah China memerintah kawasan itu dengan tangan besi.
Berbagai kebijakan Beijing dianggap tidak mengindahkan kepentingan warga asli Xinjiang seperti melarang agama Islam dan melarang perkembangan budaya serta bahasa asli Uighur.
Ketakutan China terhadap eksremisme muncul sejak insiden penabrakan sejumlah wisatawan di Lapangan Tiananmen tahun lalu dan penusukan 29 orang di kota Kunming bulan lalu.
Seperti diketahui, israf (menghambur-hamburkan) dan boros terhadap harta, meratap (rihayah) saat meninggalnya seseorang adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam. Sebagaimana menutup aurat, memilih makanan/minuman haram adalah bagian kewajiban setiap Muslim di manapun berada, tak ada perselisihan menyangkut ini.
Sementara di China, ada tradisi, sebagaimana berlaku pada upacara kematian, bahwa ahli keluarga, saudara, handai-taulan dikehendaki menangis atau meratapi pemergian si mati.
Secara demografi, di Xinjiang tinggal sembilan juta warga etnis minoritas Uighur yang mayoritas beragama Islam. Uighur adalah suku minoritas di wilayah Xinjiang, terletak di ujung Barat dan Barat Laut China. Suku uighur memiliki provinsi sendiri dengan status otonomi bernama Xinjiang-Uighur. Mayoritas mereka adalah Muslim.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Islam adalah bagian integral kehidupan dan identitas warga Uighur Xinjiang, dan salah satu keluhan utama mereka terhadap pemerintah China adalah tekanan pada kaum minoritas Muslim dan tingkat pembatasan yang diberlakukan oleh Beijing terhadap kegiatan keagamaan mereka.
Jumlah masjid di Xinjiang merosot jika dibandingkan dengan jumlah pada masa sebelum tahun 1949, dan institusi keagamaan itu menghadapi pembatasan yang sangat ketat. Anak-anak di bawah usia 18 tahun tidak diizinkan beribadah di masjid. Faktanya, minoritas Muslim di China sering mendapat tekanan dari penguasa.*