Hidayatullah.com—Parlemen Malaysia pada hari Jumat (10/04/2015) menyepakati hukuman yang lebih keras berdasarkan undang-undang penghasutan yang kontroversial yang telah dikecam PBB.
Dalam undang-undang tersebut, pelanggar dapat diganjar hukuman penjara minimal tiga tahun, sementara media online yang melanggar dapat diblokir oleh pemerintah.
Sebagaimana dikutip Reuters, amandemen terbaru undang-undang ini disahkan oleh Parlemen Malaysia setelah perdebatan alot yang berlangsung selama lebih dari 12 jam. Undang-undang akhirnya disahkan pada Jumat (10/04/2015) dini hari.
Sebelumnya, Undang-undang Penghasutan ini menyebutkan bahwa pelanggar dapat dikenai denda hingga 5.000 Ringgit, atau setara dengan Rp17,7 juta dan kemungkinan hukuman penjara selama tiga tahun.
Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Wan Junaidi Tuaku Jaafar memaparkan bahwa di bawah undang-undang yang baru, pembayaran denda dihapuskan dan hukuman penjara bukan pilihan melainkan keharusan.
“Meskipun hukuman lebih keras, kritik terhadap pemerintah atau lembaga peradilan tidak akan lagi dianggap sebagai hasutan,” kata Wan Junaidi.
Pengadilan juga akan menentukan apakah seseorang yang didakwa melanggar undang-undang tersebut dapat dibebaskan dengan jaminan, meskipun tidak boleh ke luar negeri.
Sebelum ini, Malaysia pernah melakukan penangkapan terhadap sejumlah wartawan media oposisi Malaysian Insider.
Undang-undang Penghasutan ini menuai berbagai kritik, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk dari PBB. Pakar menilai undang-undang ini merupakan alat untuk memperluas kendali pemerintah Malaysia atas media online.
“Sangat mengecewakan bahwa Pemerintah Malaysia kini mengusulkan pembuatan hukum yang sudah buruk menjadi semakin buruk,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Zeid Ra’ad Al Hussein dalam sebuah pernyataan sebelum pemungutan suara parlemen Malaysia.
Undang-undang ini merupakan salah satu dari serangkaian undang-undang yang akan dicabut. Namun, Perdana Menteri Najib Razak tetap menerapkan hukum ini sejak oposisi menuai kemenangan pada pemilu tahun 2013 lalu.
Sejak itu, undang-undang ini merupakan salah satu kerangka hukum ini telah digunakan untuk menahan wartawan, akademisi dan aktivis.
“Anda harus ingat bahwa keadaan telah berubah. Dari waktu ke waktu, kita perlu mengevaluasi kembali sejumlah hal,” kata Najib.
Selain Undang-undang Penghasutan, awal pekan ini Parlemen Malaysia juga meloloskan rancangan undang-undang anti-terorisme yang memungkinkan pelanggar dapat ditahan tanpa melalui proses peradilan.
Padahal, UU anti-terorisme ini sebelumnya telah dihapus dalam agenda reformasi Najib pada 2012 silam.
Sistem penahanan tanpa peradilan kembali di Malaysia setelah payung hukumnya terdahulu, Undang-Undang Keamanan Internal, dicabut Perdana Menteri Najib Razak pada 2012 sebagai bentuk perwujudan janjinya atas kebebasan sipil yang lebih luas. Najib juga menerapkan undang-undang anti-penghasutan—aturan era penjajahan yang melarang kritik atas pemerintah—yang awalnya dijanjikan untuk dicabut.
Puluhan kritikus pemerintah, termasuk kartunis, politikus, dan pengacara, telah diinvestigasi dan dikenai pasal dalam UU Anti-Penghasutan.*