Hidayatullah.com—Bertempat di aula Mi’raj Tours & Travel, Bandung hari Selasa (07/04/2015) Akmal Sjafril, salah satu pencetus Sekolah Pemikiran Islam (SPI) #IndonesiaTanpaJIL hadir mengisi kuliah kelima SPI di Bandung.
Dalam pertemuan kali ini, Akmal memaparkan materi “Konsep Diin”.
Penulis buku Islam Liberal 101 ini memfokuskan pembahasan tentang empat makna besar dari konsep diin dalam agama Islam yang disarikan dari pendapat Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Menurutnya, “diin” memiliki makna seputar “keadaan berhutang”.
“Manusia berhutang kepada Allah, bahkan hakikat dirinya adalah hutang yang harus dikembalikan kepada-Nya. Hutang tersebut senantiasa bertambah sepanjang hidupnya. Bahkan, Allah akan menambah nikmatnya apabila manusia bersyukur sehingga dengan otomatis juga menambah hutangnya. Orang yang merasa berhutang pada Tuhan akan menghayati keberadaan-Nya,” ujar Akmal.
Akmal juga menekankan, banyak orang yang susah didakwahi atau menerima kebenaran Tuhan karena pada dasarnya mereka tidak merasa berhutang kepada Tuhan.
Bahkan, ada yang dengan arogannya mengatakan bahwa dirinya tidak pernah meminta untuk dihidupkan.
Kalau nggak merasa malu ya mau diapain lagi,” tuturnya.
Kedua, “diin” juga memiliki makna seputar “penyerahan diri”.
Penghambaan total merupakan satu-satunya hal yang bisa dilakukan manusia.
“Manusia takkan mampu membayar hutang kepada Allah, sebab apapun yang dapat ia usahakan adalah atas rahmat-Nya,” tambahnya.
Maka selanjutnya, Agama Islam mengajarkan adab, yaitu menempatkan diri dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala.
“Orang yang menyebut dirinya Muslim lalu mengatakan bahwa Allah takut kepada akal itu nggak punya adab kepada Tuhannya sendiri,” kritik Akmal kepada orang-orang liberal yang terlalu menganggap hebat akalnya.
Ketiga, “diin” memiliki makna seputar “kuasa peradilan”. Kuasa peradilan dari Allah ini merupakan konsekuensi dari penyerahan diri kepada Allah.
“Menyerahkan diri kepada-Nya berarti mengakui apa yang datang dari-Nya sebagai kebenaran dan keadilan. Agama tidak hanya mewajibkan pengakuan, melainkan juga ketundukan sebagai konsekuensinya,” ungkap Akmal lagi.
Akmal juga menjelaskan kesalahan berpikir orang liberal, “Orang-orang liberal tidak mengaku beragama, namun tidak mau tunduk kepada aturannya.”
Keempat, “diin” juga bermakna seputar “kecenderungan alami”. Apa yang dibenarkan oleh agama itulah yang sesuai dengan fitrah manusia.
“Kita meyakini bahwa Allah tidak menzalimi manusia dan apa yang diperintahkan-Nya itulah yang baik dan normal bagi manusia. Inilah yang kemudian membuahkan rasa tentram pada manusia ketika ia merasa bersma Allah,” ujar peneliti di Institute for the Study of Islamic Thoughts and Civilizations (INSISTS) ini.
Di akhir kuliah, Akmal menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang jelas secara konseptual, kokoh dan jelas, tegas mendeskripsikan hubungan antara manusia dan Tuhannya serta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. “Ajaran Islam bersumber dari wahyu Allah yang bersifat final, tak dapat diganggu gugat oleh siapapun,” pungkasnya.*/Eko Apriansyah