Hidayatullah.com—Seorang profesor di China menyulut perdebatan dengan menyarankan agar pria miskin berbagi istrinya dengan pria-pria lain guna mengatasi masalah akibat ketidakseimbangan gender dalam masyarakat negeri tirai bambu itu.
Profesor bidang ekonomi Xie Zuoshi dari Universitas Zhejiang dihujani kritikan pedas atas usulannya yang tidak bermoral itu.
China saat ini menjadi salah satu negara dengan ketimpangan terbesar antara jumlah laki-laki dan perempuan, di mana ada sekitar 118 kelahiran bayi laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Ketimpangan itu disebabkan terutama karena kebijakan cukup 1 anak dan budaya masyarakat China yang lebih menyukai dan menghargai anak lelaki dibanding perempuan.
Meningkatnya kemakmuran dan pergerakan penduduk juga mengakibatkan banyak perempuan meninggalkan desa-desa untuk bekerja di perkotaan, sehingga para pria semakin kesulitan untuk mendapatkan pasangan hidup.
Dalam essai yang dipublikasikan pekan lalu dan dikutip media-media lokal China, Prof. Xie mencatat bahwa ada laporan-laporan yang menyebutkan di China kemungkinan akan ada 30-40 juta bujangan pada tahun 2020.
Tingginya angka permintaan akan perempuan dan kurangnya jumlah perempuan mengakibatkan “nilai perempuan menjadi naik”, tulis Xie.
“Para lelaki yang memiliki pendapatan tinggi akan memiliki kelebihan untuk mendapatkan perempuan, karena mereka bisa membayar harga tinggi itu,” tulis Xie seperti dikutip BBC Jumat (23/10/2015).
“Dan bagaimana dengan para pria berpendapatan rendah? Salah satu cara adalah beberapa pria bergabung bersama-sama untuk mencari seorang istri. Itu ide saya yang bukan sekedar angan-angan. Di sejumlah daerah terpencil dan miskin ada kasus-kasus di mana abang-adik menikahi seorang istri, dan mereka hidup bahagia dan harmonis,” kata Xie.
Profesor itu juga mendorong peningkatan perekonomian agar para bujangan miskin dapat memiliki pendapatan lebih banyak, sehingga memikat wanita-wanita dari daerah lain seperti Asia Tenggara atau Afrika.
Menyusutnya jumlah perempuan di sebagian daerah pedesaan di China, membuat semakin banyak pria menikahi wanita dari negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Myanmar. Akan tetapi, hal itu juga mendongkrak kasus perdagangan manusia dan pernikahan tipu muslihat.
Jing Xiong, seorang manajer proyek dari kelompok peduli hak-hak wanita China, Media Monitor for Women Network, mengatakan kepada BBC bahwa masalah ketimpangan gender “pada dasarnya berpangkal dari ajaran yang memprioritaskan laki-laki dibanding perempuan.”
“Dan sekarang solusinya masih lebih banyak berpusat pada laki-laki. Ini sungguh sangat menggelikan.”
“Usulan Prof. Xie mengabaikan keinginan dan hak-hak perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai alat untuk kebutuhan laki-laki akan seks, perkawinan dan reproduksi … saran itu pada dasarnya merupakan diskriminasi seksual,” kata Jing.
Dalam essai susulannya, Prof. Xie mengaku dibombardir telepon dan komentar di media sosial.
Namun, akademisi itu mengerahkan senjatanya dengan berargumen bahwa hukum dan moral dapat dibungkam.
“Jika kita ayunkan tongkat besar moral, memegang kontrak sosial ‘satu suami satu istri’ dan membiarkan 30 juta bujangan tidak memiliki wanita dan tidak memiliki harapan, serta membenci masyarakat, maka kita akan memiliki masalah sosial serius,” kata Xie.
“Jadi tolong jangan bicara kepada saya soal moral. Jika kita tidak membolehkan 30 juta bujangan memiliki wanita, hidup mereka akan tanpa harapan dan mereka mungkin akan berkeliaran memperkosa, membunuh, memasang bom … (saya tekankan bahwa ini adalah kemungkinan, saya tidak mengatakan bahwa mereka pasti akan melakukan hal itu). Jangan katakan pada saya begitulah moralitas (yang) kalian (maksud)?” kata Prof. Xie.*