Hidayatullah.com—Para penyelidik dari Uni Afrika menemukan kuburan-kuburan massal di Sudan Selatan, serta bukti-bukti bahwa telah terjadi pembunuhan, pemerkosaan, serta kanibalisme secara paksa.
Dalam sebuah laporan terbaru yang dirilis hari Selasa malam (27/12/2015), AU juga menuding faksi Presiden Salva Kiir terlibat dalam konflik di negara pecahan Sudan itu, dengan merekrut dan mempersenjatai pasukan yang terdiri dari suku-suku pedalaman sebelum pecah perang di negara baru itu pada Desember 2013.
AU juga beranggapan ada upaya kudeta pada bulan yang sama oleh mantan wakil presiden, Riek Machar.
Para saksi kekerasan di ibukota Juba mengingat kejadian mutilasi tubuh-tubuh manusia, pembakaran jasad manusia, dan bahkan pengeringan (pengeluaran) darah dari tubuh orang yang baru dibunuh. Demikian laporan itu menyebutkan.
Orang-orang lainnya dipaksa “meminum darah atau memakan daging tubuh manusia yang telah dibakar.”
Pasukan pemerintah Sudan Selatan melakukan pembunuhan berencana atas orang-orang dari suku Nuer di Juba, tulis laporan itu.
Ketika kekerasan itu terjadi, Machar, yang berasal dari suku Nuer, bangkit menjadi pemimpin pemberontakan.
Machar dan Kiir, yang berasal dari suku Dinka, belum lama ini menandatangani perjanjian damai.
Puluhan ribu orang telah tewas akibat konflik di Sudan Selatan itu, dan diperkirakan dua juta orang terpaksa mengungsi.
Menurut tim penyelidik AU yang dipimpin mantan presiden Nigeria Olusegun Obasanjo, konflik di negara itu dimulai pada 15 Desember 2013, ketika bentrokan pecah antara pasukan pengawal presiden yang berasal dari suku Nuer dan Dinka. Bentrokan itu disulut oleh ketegangan politik antara Kiir dan Machar, yang sebelum itu pada bulan Juli dipecat sebagai wakil presiden.
Laporan tersebut seharusnya dirilis beberapa bulan lalu, namun ditunda oleh Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika.
Dalam konflik itu ratusan pria Nuer dijajarkan lalu ditembak, dan kuburan massal mereka telah ditemukan.
Para pelaku –yang digambarkan sebagai pasukan pemerintah dan sekutunya– diduga kuat mernyiksa para korban, termasuk dengan memaksa mereka masuk ke dalam kobaran api atau dagingnya dimakan.
Pembunuhan itu merupakan “sebuah operasi militer terorganisir yang tidak mungkin akan berhasil tanpa adanya upaya bersama dari berbagai pelaku dalam lingkungan militer dan pemerintahan,” tulis laporan AU itu, seperti dikutip Aljazeera.
“Penutupan jalan atau pos-pos pemeriksaan didirikan di seluruh wilalyah Juba dan pemeriksaan dari rumah ke rumah dilakukan oleh pasukan keamanan.”
“Selama operasi itu para pria Nuer menjadi target, diidentifikasi, langsung dibunuh di tempat atau dikumpulkan di satu tempat lalu dibunuh.”
Laporan itu mengatakan bahwa Menteri Pertahanan Kuol Manyang Juuk menjeslakan tentang sebuah kelompok bayangan yang disebut “Selamatkan Presiden” yang membunuh orang-orang di Juba pada 15-18 Desember, dan kelompok itu bahkan “lebih kuat dibandingkan pasukan yang terorganisir.”
Kelompok bayangan itu terdiri dari sejumlah serdadu Dinka yang dimobilisasi menyusul krisis perbatasan tahun 2012 dengan Sudan.
Sebagian dari serdadu itu kemudian dipindahkan ke selatan, ke pertanian pribadi milik Kiir di dekat Juba pada tahun 2013. Mereka itu yang kemudian berpartisipasi dalam pembunuhan-pembunuhan tersebut, tulis laporan AU mengutip keterangan dari para informan.
Ketika terjadi pembantaian di Juba, Machar melarikan diri dari ibukota lalu memobilisasi sebuah kelompok bersenjata dengan tujuan membalas dendam terhadap Dinka, menyulut serangkaian kekerasan di Bor, Malakal dan Bentiu. Aksi tersebut, menurut laporan AU, termasuk pemerkosaan dan pembunuhan orang-orang yang berada di gereja.
Serangan-serangan balas dendam itu terjadi sangat cepat dan juga kelihatan terkoordinasi.
Kiir dan Machar menandatangani perjanjian damai pada bulan Agustus lalu, akan tetapi bentrokan di lapangan terus terjadi.*