Hidayatullah.com–Djovid Akramov mengatakan bahwa ia dicegat oleh kepolisian Tajik di luar rumahnya, juga dengan putranya yang berumur 7 tahun, pada bulan lalu – dan dibawa ke stasiun polisi di Dushanbe di mana ia dipaksa untuk bercukur.
“Mereka menyebut saya seorang Salafi, seorang radikal, musuh masyarakat. Lalu dua orang kemudian menggamit lengan saya sedang yang lainnya mencukur hingga separuh jenggot saya,” demikian ujarnya dikutip BBC, Kamis (21/01/2016)
Ia menjadi salah satu ratusan dari ribuan pria di Tajikistan yang ditangkap dalam beberapa tahun terakhir karena berjenggot.
Mencukur jenggot menjadi bagian dari kampanye pemerintah yang menarget “tren” yang dianggap “asing dan tidak konsisten dengan budaya Tajik”.
Sepekan sebelumnya, polisi di daerah Khatlon, Tajikistan mengatakan bahwa mereka telah mencukur jenggot para pria setidaknya sebanyak 13.000 orang sebagai bagian dari kampanye “anti radikalisasi”.
BBC juga berbicara kepada 9 pria lainnya yang menceritakan pengalaman serupa – ditahan di jalan dan dibawa paksa ke kantor polisi atau ke tukang cukur, untuk dicukur di sana.
Kampanye pemerintah ini dimaksudkan untuk keperluan melawan radikalisasi, di tengah kekhawatiran Asia Tengah akan mengikuti negara-negara seperti Afganistan, Iraq, dan Suriah.
Gerakan melawan jenggot dilihat sebagai bagian dari kampanye pemerintah yang lebih luas untuk melawan penerapan adopsi budaya Islam di masyarakat Tajik, dan untuk melestarikan kebudayaan sekuler.
Menurut data resmi, 99% populasi Tajik adalah Muslim. Meski demikian, ateisme secara resmi didukung selama 70 tahun di bawah aturan Soviet.
“Jangan berpakaian hitam”
Kampanye melawan penerapan syariat Islam juga berdampak kepada muslimah di sana. Ada larangan resmi untuk mengenakan hijab baik di sekolah maupun di universitas – namun pada prakteknya, pelarangan tersebut dipaksakan ke semua institusi.
Polisi mengatakan bahwa sepanjang tahun lalu, mereka telah menutup 160 toko yang menjual hijab, dan menganjurkan 1.773 wanita untuk berhenti memakai hijab.
Presiden Emomali Rakhmon juga telah memperingatkan penduduk Tajik: “Jangan menyembah nilai-nilai (kebaikan) asing, jangan ikuti kebudayaan asing. Pakailah pakaian dengan warna-warna (yang sesuai dengan) tradisi dan berhentilah, bukan (dengan warna) hitam,” katanya.
Dan bahkan pihak berwenang baru-baru saja memanggil para orang tua untuk memberi anak-anaknya nama-nama tradisional khas Tajik, ketimbang memberi nama mereka dengan nama berbahasa Arab atau bahasa asing lainnya.
Belum jelas apakah kebijakan ini akan memberi dampak dalam pencegahan radikalisme di sana.
Djovid Akramov mengatakan ia tidak akan lupa atas penghinaan yang ia rasakan ketika dipaksa mencukur jenggotnya di stasiun polisi.
“Yang paling buruk itu kebebasan para polisi dari hukuman, yang menikmati kesempatan untuk mem-bully orang lain,” katanya.
Hal semacam inilah yang justru mendorong orang-orang menjadi radikal, pungkasnya.*