Hidayatullah.com–Sekelompok pria bersenjata menerobos masjid di utara Myanmar pada Jumat 1 Juli 2016. Sekelompok orang menghancurkan dan membakar sebuah masjid di utara Myanmar.
Polisi dilaporkan tengah menjaga desa Hpakant di negara bagian Kachin, setelah gagal mencegah warga desa dengan mayoritas Buddha membakar sebuah masjid pada Jumat lalu. Ketika itu warga desa menyerang masjid dan membakarnya. Serangan terhadap masjid ini adalah kali kedua setelah serangan serupa seminggu ini.
Sebelumnya, Minggu lalu, sekelompok pria merusak masjid di tengah Myanmar karena permasalahan konstruksi. Demikian dilansir dari BBC, Ahad (03/7/2016).
Baca: Muslim di Desa Myanmar Masih Khawatir Pasca Serangan Masjid
Dalam kejadian ini, massa datang dari Desa Hpakant, kota tambang giok di utara negara bagian Kachin. Mereka mengentungkan tongkat dan menghunus pisau serta mengacungkan senjata lainnya ke jamaah, sebelum membakar rumah ibadah umat Muslim tersebut.
“Massa itu tidak mengatakan apapun dan bertindak di luar kendali. Gedung (Masjid) dihancurkan oleh gerombolan perusuh,” demikian yang diwartakan Global New Light of Myanmar, dikutip dari The Guardian, Sabtu (2/7/2016).
Laporan mengatakan, kelompok tersebut menyerang polisi dan mencegah pemadam kebakaran untuk memadamkan api.
“Masalahnya diawali karena masjid itu dibangun di dekat pagoda, dan mereka menolak untuk menghancurkan rumah ibadah itu,” kata Moe Lwin seorang polisi lokal.
Media lokal melaporkan lebih dari satu bangunan dibakar dalam serangan tersebut, yang dilaporkan dilakukan sekitar 200 biksu Buddha. Polisi dilaporkan dikerahkan ke lokasi untuk mengamankan komunitas Muslim.
Penyidik PBB yang sekaligus profesor dari Universitas Sungkyunkwan di Korea Selatan, Yanghee Lee meminta kepada pemerintah Myanmar untuk aktif menyelidiki kasus perusakan serupa, yang menimpa masjid di pusat kota Bago sebulan lalu.
“Ini jelas sinyal yang salah yang saya terima. Pemerintah harus melakukan investigasi dan komitmen untuk mencegah kekerasan etnik dan agama,” ujar Lee di akhir kunjungan 12 hari di Myanmar.
Dia juga mendesak agar Aung San Suu Kyi dan jajarannya segera mengakhiri diskriminasi mendarah daging yang begitu kental mengalir dalam nadi orang Myanmar terhadap komunitas Muslim di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha tersebut. Lee berharap masalah ini bisa dijadikan prioritas yang sangat mendesak untuk diselesaikan.
Sentimen terhadap umat Islam di Myanmar, terutama paling tragis menimpa para pengungsi Rohingya. Mereka hidup sebagai warga negara buangan, pendatang gelap dari Bangladesh, yang bahkan tidak pernah diakui dan hidup layak di bawah perlindungan negara.
Peraih penghargaan nobel perdamaian Aung San Suu Kyi diharapkan dapat mengatasi persoalan ini. Namun faktanya dia juga belum bisa membawa solusi damai bagi warga Rohingya, sementara kekerasan terhadap umat Muslim terus meningkat dan toleransi kian menipis di negaranya.
Menurut catatan, ada peningkatan kekerasan etnis dan agama di Myanmar semenjak 2012, ketika serangkaian kekerasan terjadi antara Buddha dan Muslim. Puncaknya, etnis Rohingya yang mayoritas muslim terpaksa hengkang menjadi manusia perahu ke negara tetangga akibat insiden itu.*