Hidayatullah.com–Sebuah pemeriksaan di Thailand baru-baru ini menemukan anggota keamanan negara itu telah menembak mati empat orang Islam yang tidak bersenjata di wilayah selatan negara itu, kata seorang pengacara pada Rabu.
Hasil pemeriksaan itu dianggap suatu keputusan bersejarah yang dapat menyebabkan penuntutan pejabat pemerintah, demikian lapor AFP.
Selama ini, tidak pernah seorangpun anggota keamanan Thailand yang dihukum akibat melakukan pembunuhan atau penyiksaan di selatan negara itu, meskipun sudah ada banyak tuduhan penyalahgunaan kekuasaan di seluruh wilayah itu.
Sejak tahun 2004, sejumlah 6.500 orang tewas dalam konflik yang tidak berkesudahan di selatan Thailand.
Mayoritas yang tewas adalah warga sipil, dibunuh oleh apakah separatis ataupun dalam serbuan pasukan keamanan Thailand.
Dua orang desa dan dua siswa telah ditembak mati pada 25 Maret tahun lalu dalam sebuah serangan di desa Ban To Cut di Pattani.
Pasukan keamanan yang menerima informasi dari satu sumber, telah melepaskan tembakan ke atas satu kelompok yang kemudian menuduh anggota teroris.
Pada awalnya, pemerintah mengklaim kelompok yang ditembak itu adalah faksi pemberontak yang bersenjata namun tim penyidik yang didirikan menemukan dakwaan itu tidak benar – mereka hanyalah empat orang sipil yang tidak bersenjata.
Pemeriksaan pada Rabu di pengadilan Pattani menemukan semua korban ‘tewas ditembak oleh anggota militer dan polisi sewaktu serbuan’, ujar pengacara dari Pusat Hukum Islam, Abdulha Awaerputae, yang mewakili keluarga korban.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, polisi Thailand menyatakan tujuh anggota keamanan itu akan didakwa akibat membunuh, namun setelah lebih setahun, tidak ada penuntutan dilakukan.
Banyak pihak yang berpihak keluarga korban berharap keputusan di pengadilan itu akan akhirnya menyaksikan tuntutan pidana dilakukan pada anggota keamanan Thailand.
“Sayangnya, ini bukan hal yang luar biasa. Kami pernah mengelola kasus serupa sebelumnya. Namun pada akhirnya, pejabat pemerintah itu terlepas hukuman,” kata Pornpen Khongkachonkiet dari Amnesty International Thailand dikutip laman channelnewsasia.com, Rabu (14/09/2016).
Tambahnya, orang Islam di selatan Thailand berpendapat ‘tidak ada yang berubah sejak ‘tragedi berdarah Tak Bai’, mengacu pada konflik yang menyebabkan pembunuhan sekitar 84 orang Muslim oleh pemerintah Thailand pada tahun 2004.
Sebagaimana diketahui, 84 Muslimin di Tak Bai, Provinsi Narathiwat, Thailand, mati lemas dan beberapa lehernya patah ketika hampir 1.300 orang dijejalkan ke dalam kendaraan-kendaraan selama sekitar enam jam. Mereka ditahan setelah pasukan keamanan menggunakan tembakan gas air mata, air, dan tembakan senjata dalam upaya membubarkan para pemrotes di wilayah Selatan yang mayoritas Muslim.
Senin (26/10/2004), sekitar 2.000-3.000 Muslim di Tak Bai melakukan aksi demonstrasi di depan kantor polisi setempat. Mereka memprotes atas penahanan enam rekan mereka yang dituduh menjual senjata kepada pejuang Muslim di Thailand Selatan. Mereka menuntut keenamnya dibebaskan.
Petugas keamanan yang terdiri atas polisi dan tentara mencoba membubarkan para demonstran yang terus berteriak-teriak. Namun, mereka bukannya membubarkan diri. Malah, jumlah para demonstran bertambah banyak.
Aparat pun kehilangan kesabaran dan mulai menembaki para demonstran dengan gas air mata, senjata api, dan senjata air. Militer Thailand juga menangkapi para demonstran dan memasukkannya ke dalam enam truk yang sudah disiapkan untuk dibawa ke kamp militer Inkayuth Bariharn, Pattani.
Saat diangkut, sebanyak 1.300 tawanan itu ditumpuk-tumpukkan dengan tangan terikat ke atas. Perjalanan itu sendiri memakan waktu empat sampai lima jam. Dalam perjalanan, sebanyak 78 Muslim tewas akibat tubuh mereka ditumpuk-tumpuk. Enam lainnya meninggal pada saat bentrokan dengan aparat.*