Hidayatullah.com—Parlemen Iraq membuat gebrakan tak terduga dengan menyetujui larangan penjualan, impor dan produksi minuman beralkohol. Sebuah keputusan yang sepertinya akan menimbulkan kemarahan di kalangan minoritas.
Pendukung larangan itu berpendapat hal tersebut dibenarkan oleh konstitusi, yang melarang segala sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam.
Namun, pihak penentangnya berpendapat bahwa keputusan itu melanggar konstitusi yang sama, yang menjamin keberlangsungan tradisi kaum minoritas relijius.
Menurut seorang anggota parlemen dan staf parlemen, larangan itu disisipkan di menit-menit terakhir dalam rapat tentang undang-undang pemerintah daerah. Peraturan berupa larangan itu diloloskan oleh parlemen Baghdad ketika semua mata sedang serius memperhatiakan perkembangan situasi di utara, di mana sedang terjadi pertempuran besar untuk merebut kembali Mosul dari tangan ISIS, sehingga orang tidak begitu memperhatikan apa yang sedang terjadi di Baghdad.
“Sebuah peraturan hukum diloloskan hari ini dan pasal 14 undang-undang itu melarang impor, produksi dan penjualan semua jenis (minuman) alkohol,” kata Yonadam Kanna, seorang anggota parlemen kawakan yang beragama Kristen kepada AFP pada hari Sabtu (22/10/2016).
“Setiap pelanggaran atas peraturan ini bisa dikenai denda 10 juta hingga 25 juta dinar,” ujarnya. [1 dinar Iraq sekitar 11.200 rupiah]
Kanna berjanji akan menggugat peraturan baru itu ke pengadilan federal.
Minuman beralkohol jarang ditawarkan di restoran dan hotel di Iraq. Namun, konsumsi minuman keras merebak luas di kalangan masyarakat , terutama di Baghdad di mana banyak kios kecil menjual minuman beralkohol (minol).
Di Iraq juga banyak terdapat perusahaan produsen berbagai macam minuman beralkohol, seperti bir Farida dan arak Asriya, minol jenis spirit berasa adas manis khas daerah setempat.
Kanna marah usai pemugutan suara di parlemen itu dan tampil di televisi menentang peraturan baru tersebut.
“Pasal itu bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan minoritas,” kecamnya.
Pasal 2 dalam konstitusi Iraq menjamin identitas Muslim mayoritas rakyat Iraq dan menjamin penuh hak relijius semua individu untuk bebas memeluk dan menjalankan agamanya. Selain Muslim, rakyat Iraq terdiri dari kaum Kristen, Yazidi (Arab Kristen) dan Sabian (salah satu kelompok ahlul kitab).
Ammar Toma, anggota parlemen yang mendukung larangan itu, kepada AFP mengatakan bahwa konstitusi yang menjadikan penjualan, impor dan produksi minol ilegal.
“Konstitusi mengatakan Anda tidak bisa menyetujuai peraturan hukum yang bertentangan dengan Islam,” kata Toma, seraya mengutip pasal terkait dalam konstitusi Iraq.
Kanna dan Toma juga berbeda pendapat soal dampak larangan tersebut.
“Peraturan hukum ini akan membuat orang kehilangan pekerjaan, konsumsi narkoba akan naik, perekonomian akan terdampak,” kata Kanna.
Para pengamat mengatakan bahwa penyalahgunaan narkoba meningkat di Iraq belakangan ini, khususnya di kota Basra di sebelah selatan Iraq –di mana penyelundupan narkoba lewat negara tetangga Iran melonjak, serta di daerah di mana minol hanya bisa didapat di pasar gelap.
Toma, seorang politisi Syiah dari Partai Fadhilah, membantah argumen Kanna dengan mengatakan bahwa dampak minol dalam masyarakat sangat besar, termasuk dekadensi moral, terorisme serta masalah sosial.
“Bagi orang-orang yang akan kehilangan pekerjaan mereka, pekerjaan baru bisa dicari untuk mereka,” ujarnya tanpa menjelaskan lebih lanjut dan tanpa menyinggung fakta bahwa angka pengangguran di Iraq tahun-tahun belakangan terus naik.*