Hidayatullah.com—Di malam menjelang pertemuan World Economic Forum di Swiss, di mana tokoh-tokoh keuangan kelas berat bertemu guna membahas ketidaksetaraan finansial, Oxfam menyoroti kesenjangan antara dunia kaya dan miskin yang semakin lebar, lapor Euronews Senin (16/1/2017).
Kesenjangan itu, yang menurut lembaga sosial tersebut terus melebar, mengungkap dan mengkritisi apa yang disebut Oxfam sebagai konsentrasi kekayaan “tak patut” di tangan segelintir minoritas, yang mana total kekayaan milik hanya 8 orang sama jumlahnya dengan total kekayaan yang dimiliki setengah populasi miskin dunia.
“Kita memiliki sistem perekonomian yang sedemikian rupa membuat hanya 1% saja yang menikmati keuntungan,” kata Direktur Kampanye dan Kebijakan Oxfam Matthew Spencer.
“Sistem itu dirancang untuk menguntungkan yang 1% saja dan bukan yang 99%. Itu mengapa kita mendapati satu kelompok yang terdiri beberapa miliuner saja bisa memiliki jumlah kekayaan setara dengan setengah populasi dunia dalam satu kantong golf,” imbuhnya.
Kedelapan miliuner itu saat ini adalah pendiri Microsoft Bill Gates, jagoan bisnis dan pendiri Inditex Amancio Ortega, investor Warren Buffett, pengusaha telekomunikasi kawakan Carlos Slim, pendiri Amazon Jeff Bezos, bos besar-CEO-pendiri Facebook Mark Zuckerberg, CEO dari Oracle Larry Ellison dan Michael Bloomberg pendiri serta CEO Bloomberg LP.
Kekayaan mereka jika digabungkan maka jumlahnya sama dengan harta benda yang dimiliki 3,6 juta miliar orang miskin di dunia.
Organisasi kemanusiaan itu menyeru agar diambil tindakan keras terhadap pengemplangan pajak dan pemilik modal kapitalisme “berlebihan” yang menjadikan si kaya makin kaya dan si miskin tetap miskin.
Penasihat kebijakan di Oxfam, Max Lawson, berkata, “Banyak, banyak sekali miliuner yang hampir tidak membayar pajak sama sekali, menggunakan surga pajak untuk menyembunyikan uang mereka jauh-jauh … Kita menghadapi situasi di mana sering kali para miliuner membayar (secara proporsional) pajak lebih sedikit dibanding tukang bersih-bersih (pembantu) atau sekretaris mereka. Ini gila. Kita melihat kekayaan disalurkan ke atas.”
Sementara banyak pekerja harus bertahan hidup dengan gaji yang tidak naik-naik, harta orang-orang super kaya naik rata-rata 11 persen setahun sejak 2009.
Di Kenya, contohnya, efek dari kesenjangan antara si kaya dan si miskin kentara sekali.
Sementara orang terkaya di negara itu memiliki harta senilai $700 juta, sebanyak 42 persen penduduk Kenya hidup di bawah garis kemiskinan.
Meskipun 2 juta orang terpaksa bekerja tanpa kontrak yang jelas, tanpa ada jaminan dan perlindungan apapun, ironisnya perekonomian Kenya tumbuh, yang disebabkan oleh kedatangan ke Nairobi pemodal-pemodal kelas kakap yang ingin menikmati insentif pajak, yang justru menggerogoti salah satu sumber pemasukan vital keuangan negara itu sendiri.
“Ketidaksetaraan jelas sekali semakin memburuk di banyak negara dan kita melihat orang-orang kaya, khususnya, menjauh dari masyarakat sekitar dan itu sungguh membahayakan,” kata Spencer.
Meskipun demikian, menurut Lawson, ketimpangan tidak bisa dihindari, tetapi bisa “diperbaiki”, dan caranya relatif mudah yaitu dengan “menyuruh si kaya membayar pajaknya.”*