Hidayatullah.com–India semakin membatasi media sosial untuk membungkam perbedaan pendapat di Kashmir, seorang wartawan baru-baru ini menjadi target pada hari Rabu.
Wasim Khalid, seorang wartawan surat kabar Kashmir Reader, adalah salah satu dari beberapa pengguna Twitter Kashmir yang diminta segera menghapus postingan setelah menerima sebuah keluhan resmi dari pemerintah India.
“Awalnya saya pikir itu adalah lelucon, salah satu email palsu yang terus Anda dapatkan tapi setelah saya melihat lebih dekat itu sebenarnya email dari Twitter,” katanya kepada Anadolu Agency.
Dia menambahkan: “Ini adalah usaha untuk mengintimidasi orang-orang yang memposting kebenaran bahwa media India tidak akan pernah menunjukkannya.
“Ini dimaksudkan untuk menutup jendela media sosial kecil di mana Kashmir muncul ke dunia karena keberadaannya ada di lapangan. Tidak ingin dunia melihat bagaimana hal itu berlanjut di Kashmir dan itulah mengapa mereka ingin orang-orang Kashmir diblokir dari media sosial.”
Twitter dilaporkan telah memblokir beberapa akun Kashmir dan telah menekan puluhan tweet setelah ada permintaan dari pemerintah.
Menurut surat kabar The Indian Express, pemerintah meminta Twitter untuk memblokir 19 akun dalam sebuah surat tertanggal 24 Agustus, kebanyakan dari mereka cuitan tentang Kashmir. Ini juga meminta 95 tweets untuk dihapus.
Pada tanggal 31 Agustus, Khalid menerima email dari Twitter yang memberitahukan kepadanya bahwa pemerintah telah mengeluh bahwa dua postingannya dinilai melanggar hukum India.
Baca: Mahasiswa Simbol Baru Penentangan Warga Kashmir terhadap India
Sebuah posting yang ditulis esai baru-baru ini diterbitkan kembali oleh situs berita Kashmir dan yang lainnya membawa citra seorang pemuda yang digunakan sebagai perisai manusia (tameng hidup) tentara India di Kashmir.
Mayoritas Muslim terbagi antara India dan Pakistan, yang telah melakukan dua perang di wilayah tersebut sejak 1947.
Sekelompok perlawanan di Jammu Kashmir yang dikuasai India sudah berjuang untuk kemerdekaan atau penyatuan dengan Pakistan. Sejak tahun 1989, lebih dari 70.000 orang dilaporkan terbunuh dalam konflik tersebut.*