Hidayatullah.com—Black Friday datang lagi. Para pedagang ritel di seluruh dunia berkesempatan menjual barang sebanyak-banyaknya dengan iming-iming diskon besar untuk konsumen.
Tradisi ini sebenarnya murni budaya yang lahir di Amerika Serikat, yang digelar di hari setelah Thanksgiving di hari Jumat keempat bulan November. Namun, pesta belanja itu kini sudah mendunia, sebagai salah satu hari paling sibuk orang berjual-beli di mana para pedagang bersaing untuk menarik sebanyak-banyaknya pembeli.
Di Jepang, Black Friday menjadi agenda tahunan bagi orang-orang yang gemar berburu barang diskon di surga belanja. Peritel-peritel besar di negeri sakura itu membuka pintu-pintunya lebih awal bagi konsumen. Di sebagian cabang, toko bahkan mulai menjual barang diskon sejak tengah malam ketika jam menunjukkan pukul 00 hari Jumat.
“Akhir pekan Black Friday bisa jadi menguntungkan atau merugikan peritel, dan ini utamanya karena hari itu menandakan awal dari musim belanja, yang merupakan kesempatan sangat berharga dalam arti penjualan dan pendapatan seorang pedagang,” kata Jharonne Martis, direktur riset konsumen di Thomson Reuters.
“Oleh karena itu, jika konsumen tidak mendapatkan sedikitnya diskon 40 persen atau lebih, mereka tidak menikmati harga terbaik dari Black Friday,” imbuhnya seperti dilansir Euronews Jumat (24/11/2017).
Bagi kalangan yang lebih peduli pada masalah perlindungan planet bumi, Black Friday bukan kesukaan mereka. Para aktivis peduli lingkungan berharap masyarakat berpikir lebih dahulu sebelum larut dalam pesta belanja gila-gilaan, agar tidak membeli barang yang tidak mereka butuhkan atau sia-sia.
¶Pendeta Dublin: Jangan pakai kata Christmas, sudah dibajak Santa
Pada masa sekarang ini, kegilaan belanja tidak lagi hanya berpusat di kawasan pertokoan di pusat kota, tempat di mana konsumen menyerbu toko penjual barang-barang idaman mereka. Suka ria belanja sudah merambah dunia maya, toko online.
Event promosi tahunan yang diimpor dari Amerika Serikat ke Inggris oleh Amazon pada tahun 2010, dari tahun ke tahun semakin besar.
Momen belanja di masa liburan yang berlangsung hingga hari Natal ini, di negeri asalnya Amerika Serikat, menyumbang sekitar 40 persen dari total angka penjualan tahunan para peritel.*