Hidayatullah.com–Mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pernah berjanji untuk menutup penjara militer di Teluk Guantanamo, tetapi kini ia masih harus dibuka untuk periode 25 tahun lagi, kata seorang pejabat.
Laksamana muda, John Ring, mengatakan penjara masih menempatkan perencana serangan 9/11, fokusnya sekarang adalah untuk memastikan penjara bisa bertahan selama 25 tahun lagi.
Pada bulan Januari tahun lalu, Presiden Donald Trump menandatangani arahan eksekutif untuk membatalkan direktif mantan presiden pada tahun 2009 untuk menutup penjara yang telah menjadi fitnah dunia.
“Pemerintah (Pentagon) mengatakan kami akan berada di sini (Guantanamo) selama 25 tahun atau lebih,” kata Laksamana Madya, yang juga Komandan Tugas Gabungan Guantanamo dikutip France24.
Dering menjawab pertanyaan dari wartawan yang mengunjungi penjara mengatakan mereka menerima memorandum dari Pentagon yang menjelaskan rencana untuk membuka penjara setidaknya selama 25 tahun.
Kunjungan wartawan itu, antara lain, bertujuan untuk membuktikan bahwa para tahanan di penjara, di Kuba selatan menerima pelayanan yang baik.
Baca: Trump Teken Surat Perintah Penjara Guantanamo tetap Dibuka
Pada bulan Desember tahun lalu, ahli penyiksaan tertinggi PBB mengatakan telah mengkonfirmasi menerima laporan dari sumber yang mengungkapkan setidaknya satu tahanan masih disiksa di Teluk Guantanamo.
Dikurtip AFP, wakil khusus PBB yang kasar, Nils Melzer, mengatakan dia menerima informasi tentang penggunaan kebisingan dan getaran yang masih dilakukan terhadap Ammar al-Baluchi, perencana serangan 9/11.
Melzer juga menyatakan keprihatinan atas beberapa tahanan yang masih berada di penjara untuk jangka waktu tertentu dan hidup dalam isolasi penuh.
Sebagaimana diketahui, militer AS telah mengoperasikan Pangkalan Angkatan Laut di Teluk Guantanamo, Kuba, selama lebih dari satu abad. Tepatnya, tahun 1903, ketika perjanjian Kuba-Amerika untuk Penyewaan Teluk Guantanamo.
Setelah serangan 11 September 2001, fasilitas penahanan Teluk Guantanamo digunakan untuk rumah yang diduga sebagai musuh pejuang dari Afghanistan dan Iraq. Kebanyakan diklasifikasikan sebagai “rekan teroris,” bukan teroris sebenarnya atau pemberontak.
Dalam buku memoarnya, “Guantanamo Diary“, Mohamedou Ould Slahi, menceritakan kisahnya sebagai tersangka “teroris” yang harus menjalani proses pemeriksaan dengan cara-cara yang kejam. Salah satunya adalah dipaksa berhubungan seksual dengan tiga wanita petugas interogasi.
Buku memoarnya, yang diterbitkan pada tahun 2015 menceritakan bahwa dipaksa melakukan hubungan seks ala Amerikan atau yang dikenal dengan istilah “great American sex“.
“Jika Anda mau bekerja sama, saya akan berhenti melecehkan Anda. Kalau tidak, saya akan melakukan hal ini kepada Anda setiap hari, dan akan lebih buruk. Berhubungan seks dengan seseorang tidak dianggap sebagai penyiksaan,” ujar seorang petugas interogasi wanita, seperti ditulis dalam buku Slahi, dikutip The Independent.

Salah satu pengacara Slahi, Nancy Hollander menyatakan bahwa teknik interogasi menggunakan pemaksaan hubungan seksual dan pelecehan bertujuan untuk menurunkan kepercayaan diri Slahi dan membuatnya malu akan dirinya sendiri. Menurut Hollander, teknik ini disetujui oleh pihak berwenang AS.
“Saya percaya mereka menggunakan orang-orang seperti Mohamedou (Slahi) untuk bereksperimen, untuk mencoba apakah teknik ini akan berhasil,” kata Hollander.
“Yang lebih buruk adalah mereka pernah membawakan surat palsu kepada Mohamedou yang menyatakan bahwa mereka akan mengirimkan ibunya ke Guantanamo jika Mohamedou menolak memberikan keterangan yang ingin mereka dengar,” kata Hollander, dikutip New York Times.
Hollander menyatakan, karena takut ibunya ikut ditahan di Guantanamo, Slahi mulai mengakui kejahatan yang tidak dia lakukan.
“Dia mulai mengatakan apa yang ingin mereka dengar, yang dibuat-buat dan tidak benar,” kata Hollander.
Slahi, yang telah mendekam dalam penjara Guantanamo sejak tahun 2002, menjelaskan dirinya menjadi sasaran perlakuan brutal para sipir penjara, yaitu dengan disekap dalam ruangan beku selama berjam-jam, dipaksa meminum air garam dan berulang kali dipukuli, hingga dia tak bisa tidur.
“Saya benar-benar hidup dalam teror. Selama 70 hari berikutnya saya tidak akan tahu rasanya tidur terlelap. Interogasi ini memakan waktu 24 jam dalam sehari, dengan tiga dan terkadang empat kali dalam sehari,” tulis Slahi dalam bukunya yang termasuk dalam 100 buku terbaik versi Amazon.
Tuduhannya penyiksaan psikologis dan fisik menderita datang hanya beberapa minggu setelah sebuah laporan Senat AS mengungkapkan meluasnya penggunaan teknik interogasi yang “disempurnakan” oleh CIA .
“Konvensi Menentang Penyiksaan, yang didukung Amerika Serikat adalah pesta, mengharuskan negara-negara yang melakukan penyiksaan mendapatkan peradilan, namun mengapa tak ada yang menuntut mantan Menteri Luar Negeri Donald Rumsfeld, dia adalah orang yang menandatangani perintah untuk menyiksa Mohamedou. Dia harus ditutut karena bekonspirasi untuk melakukan penyiksaan,” kata Hollander.
Slahi selesai menuliskan bukunya pada tahun 2006. Namun, pemerintah AS menyatakan naskah buku tersebut termasuk dalam dokumen rahasia. Organisasi American Civil Liberties Union atau ACLU, membantu mendapatkan naskah tersebut melalui proses penyuntingan pada tahun 2012.
Mohamedou Ould Slahi, dibebaskan setelah dipenjara selama 14 tahun. Ia kembali ke negara asalnya Mauritania setelah dipenjara tanpa dakwaan sejak 2002.*