Hidayatullah.com—Menteri Luar Negeri Libya mengatakan negaranya menolak usulan Uni Eropa perihal pendirian pusat penanganan migran di luar wilayah UE.
Rencana itu dibuat oleh para pemimpin Uni Eropa pada bulan Juni seiring dengan permintaan Italia agar kontrol migrasi lebih diperketat.
Namun, Menlu Mohamed Al-Taher Siala mengatakan kepada salah satu koran Austria bahwa semua negara Afrika Utara menolak ide tersebut, lapor BBC Jumat (19/10/2018).
Siala adalah menteri luar negeri pemerintah Libya dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal sebagai Government of National Accord (GNA). GNA menguasai ibukota Libya, Tripoli, tetapi wilayah lainnya di Libya banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok bersenjata yang saling berebut kekuasaan usai kematian Muammar Qadhafi.
Pada bulan Juni, Uni Eropa mengusulkan didirikannya pusat penanganan migran di Afrika Utara di mana PBB dan badan lainnya dapat menyaring siapa saja yang sejatinya layak mengajukan permohonan suaka di Eropa. Bagi mereka yang dianggap tidak layak akan diberikan bantuan untuk dimukimkan kembali di negara asalnya.
Rencana itu menurut Uni Eropa untuk menghentikan praktek penyelundupan manusia.
Usulan itu digodok UE setelah Italia melakukan protes, sebab negaranya kerap dijadikan batu loncatan para migran Afrika untuk masuk ke Eropa melalui jalur laut.
Menurut data PBB, lebih dari 1.700 migran tewas selama tahun 2018 saat berusaha menyeberang ke Eropa melalui Laut Tengah (Laut Mediterania).
“Seluruh negara Afrika Utara menolak usulan ini, Tunisia, Aljazair, maroko dan juga Libaya,” kata Siala kepada koran Die Presse.
Dia memperkirakan sekitar 30.000 migran ilegal saat ini ditahan di pusat-pusat detensi di Libya. Dia mengatakan pemerintahnya bekerja sama dengan UE berusaha memulangkan mereka ke negara asalnya, tetapi “sayangnya, sebagian dari negara-negara itu –kebanyakan negara Afrika Barat– menolak untuk menampung mereka kembali.”
Siala menambahkan, saat ini Libya sedang berusaha meningkatkan pengamanan di sepanjang perbatasannya dengan membuat kesepakatan dengan Chad, Niger dan Sudan.*