Hidayatullah.com—Para pemilih di Kaledonia Baru, teritori Prancis di kawasan Pasifik, menolak kemerdekaan wilayah itu dari Prancis.
Hasil pemungutan suara menunjukkan 56,4% memilih untuk bertahan sebagai bagian dari Prancis sementara 43,6% merdeka. Jumlah pemilik suara yang menggunakan hak pilihnya mencapai 81%.
Pemungutan suara kemerdekaan itu merupakan hasil kesepakatan tahun 1988, yang kala itu bertujuan mengakhiri keruduhan akibat tuntutan kemerdekaan.
Menanggapi hasil referendum, Presiden Emmanuel Macron mengatakan bahwa hal itu menunjukkan “kepercayaan terhadap Republik Prancis,” lapor BBC Ahad (4/11/2018).
“Saya harus mengatakan betapa bangganya saya bahwa kita akhirnya melewati tahap bersejarah ini bersama-sama,” kata Macron.
Referendum berlangsung damai, meskipun di sejumlah tempat terjadi kerusuhan setelah masa pemungutan suara berakhir.
Dalam kerusuhan yang terjadi, mobil-mobil dibakar dan sebuah toko dibumihanguskan di ibukota Noumea, lapor media lokal. Kantor komisi tinggi mengatakan sejumlah jalan ditutup oleh para pengunjuk rasa.
Kaledonia Baru, yang memiliki kekayaan alam melimpah berupa nikel yang sangat dibutuhkan dalam industri elektronik, dipandang oleh Prancis sebagai aset politik dan ekonomi yang sangat strategis di kawasan Pasifik.
Terletak di sebelah timur Australia, Kaledonia Baru merupakan satu dari 17 “teritori yang tidak memiliki kekuasaan sendiri” yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana proses dekolonisasi belum tuntas.
Sekitar 175.000 orang berhak memberikan suaranya dalam referendum hari Ahad tersebut. Meskipun penduduknya 39,1% merupakan suku penduduk asli Kanak dan 27,1% warga Prancis dari etnis Eropa, tetapi sentimen nasionalisme Prancis di sana cukup kuat. Para pengamat memperkirakan sebagian orang Kanak menolak wilayah itu merdeka dari Prancis. Sepertiga dari total 268.000 penduduk Kaledonia Baru lainnya juga dikabarkan mayoritas menentang kemerdekaan.
Teritori Prancis yang terletak sangat jauh dari negara induknya itu setiap tahun menerima kucuran dana sekitar 1,3 miliar euro dari pemerintah pusat.
Saat berkunjung ke teritori itu pada bulan Mei lalu, Presiden Macron mengatakan bahwa Prancis “akan kurang cantik tanpa Kaledonia Baru.”
Prancis pertama kali mengklaim pulau kecil itu pada tahun 1853 dan dulu pernah menggunakannya sebagai tempat pembuangan orang-orang hukuman.
Pada tahun 1980-an terjadi bentrokan berdarah antara pasukan Prancis dengan orang-orang Kanak. Puncak konflik terjadi ketika separatis Kanak membunuh 4 personel gendarmeri Prancis dan menyandera 23 lainnya di sebuah gua. Serangan balasan yang dilancarkan oleh pasukan Prancis mengakibatkan 19 nyawa orang Kanak melayang, berikut dua anggota tentaranya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pada tahun 1988, perwakilan dari kelompok pro dan anti kemerdekaan mencapai kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan dan sama-sama setuju referendum kemerdekaan digelar.
Walaupun saat ini kelompok antikemerdekaan unggul, tetapi dua referendum lagi masih bisa digelar sebelum tahun 2022, yang artinya kemerdekaan Kaledonia Baru dari Prancis masih kesempatannya masih terbuka.
Bila pada akhirnya suara kelompok “Ya” lebih unggul dari kelompok “Tidak”, maka Kaledonia Baru akan menjadi teritori ketiga yang melepaskan diri dari Prancis setelah Djibouti (1977) dan Vanuatu (1980).
Saat ini Kaledonia Baru diwakili di parlemen nasional Prancis oleh dua orang deputi dan dua senator.
Di Kaledonia Baru sendiri ada kongras yang berwenang memilih para pejabat untuk menduduki pos-pos di bidang kebijakan, pendidikan dan hukum lokal.*