Hidayatullah.com— Selama bertahun-tahun Shamina Bakeer memakai kerudung untuk menjaga kesopanan, tetapi juga karena itu membuatnya merasa lebih bebas bepergian.
Sejak serangan bom teror pada Perayaan Minggu Paskah yang merenggut 253 nyawa, perempuan di Ibu Kota Sri Lanka, Kolombo telah menjadi sasaran pelarangan terhadap publik yang mengenakan penutup wajah.
Keputusan ini diambil oleh pemerintah dengan alasan keamanan untuk menghentikan pelaku kekerasan yang bersembunyi di balik pakaian seperti itu setelah serangan April yang sebagian besar menargetkan orang Kristen.
Shamina yang berusia tiga puluh tahun, adalah seorang ibu dari dua anak, mengakui, sebelumnya ia bisa bergerak tanpa diidentifikasi baik sebagai wanita tua atau muda.
Shamina sangat meyakini persyaratan Islam dalam kaitannya dengan cara berpakaian wanita. Sejak larangan itu diberlakukan, dia belum keluar dari rumahnya, bahkan ke masjid setempat. Dia juga terpaksa menangguhkan menjadi pengajar di sebuah institut untuk wanita Muslim.
Shamina dan para muslimah lain berharap situasi ini akan berubah, tetapi untuk saat ini dia menerima bahwa larangan itu diberlakukan karena ‘alasan keamanan’ dan bukan sebagai bentuk diskriminasi agama.
Di luar Kolombo, ketika mengunjungi kerabat, ada tekanan yang lebih besar untuk menyesuaikan diri dengan kerendahan hati Islam dan dalam komunitas kecil ia langsung dikenali.
Anggota Komunitas Muslim di Sri Lanka juga dihadapkan dengan sikap negatif banyak kalangan non-Muslim serta perbedaan dalam komunitas Islam itu sendiri, kata Pakiasothy Saravanamuttu, seorang akademisi yang memimpin Pusat Alternatif Kebijakan dikutip UCANews.
Dia mencatat bahwa ada bias umum bahwa umat Islam ingin mengambil alih negara. Namun, toleransi yang lebih besar diperlukan karena keresahan seperti itu tidak didukung oleh fakta sejarah, katanya.
Sebagai contoh, banyak dari komunitas Muslim yang lebih luas menganggap pendukung kelompok militan sebagai ekstremis. “Elemen-elemen tertentu ingin memisahkan diri,” kata Saravanamuttu kepada ucanews.com.
Namun, ia mencatat bahwa umat Islam yang baru-baru ini menghancurkan sebuah masjid milik organisasi National Thowheed Jamath yang sekarang dilarang tidak boleh dimaafkan.
Muslim menjadi sasaran serangan balasan yang luas terhadap pemboman teroris, termasuk di bidang bisnis. “Saya tidak tahu berapa lama untuk menghilangkan prasangka ini, tetapi akhirnya akan terjadi,” kata Saravanamuttu.
Dalam konteks ini ia percaya pemerintah harus lebih kuat mendorong rekonsiliasi, termasuk dengan mengambil sikap keras terhadap biksu Budha garis keras Gnanasara Thero, yang telah dituduh menghasut kebencian komunal.
Aktivis Muslim Deshabandu Jezima Ismail, yang pernah dididik di sebuah biara Katolik, percaya bahwa para provokator berada di belakang serangan komunal Buddha terhadap Muslim baru-baru ini.
Dia juga setuju bahwa umat Islam harus mencari cara untuk berhubungan dengan agama lain. Namun, dia khawatir bahwa wanita yang harus berhenti mengenakan kerudung akan merasa kehilangan “kepercayaan diri dan ketenangan”.
Ismail menunjukkan bahwa pemboikotan bisnis Muslim bisa berkurang begitu komunitas Islam mampu selangkah demi selangkah memenangkan kembali kepercayaan orang lain.
Secara tradisional, umat Islam telah diberi kebebasan untuk melakukan praktik keagamaan dan dapat melakukan peringatan dan acara budaya lainnya di Sri Lanka.
“Semua orang hidup bersama dengan sangat baik,” kata Ismail.*