Hidayatullah.com– Pengungsi Rohingya menuduh mantan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, berbohong kepada Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kesaksiannya yang menyangkal bahwa angkatan bersenjata negaranya bersalah atas genosida atau pembersihan etnis terhadap kelompok minoritas yang kebanyakan Muslim lapor Al Jazeera pada Kamis (12/12/2019).
“Dunia akan menilai klaim ‘tidak ada genosida’ mereka dengan bukti,” Mohammed Mohibullah, ketua Masyarakat Arakan untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada kantor berita Associated Press.
“Pencuri tidak akan pernah mengakui dia adalah pencuri, tetapi keadilan dapat diberikan melalui bukti. Dunia telah mendapatkan bukti dari kami,” katanya di kamp pengungsi Kutupalong di distrik Cox’s Bazar di Bangladesh.
“Bahkan jika Suu Kyi berbohong, tidak akan selamat. Dia pasti akan menghadapi keadilan. Dunia harus mengambil sikap melawannya,” kata dia.
Suu Kyi, yang menghabiskan bertahun-tahun berada di tahanan rumah di bawah kediktatoran militer, saat ini adalah pemimpin sipil Myanmar dan mengatakan kepada mahkamah bahwa eksodus ratusan ribu Rohingya ke negara tetangga Bangladesh pada tahun 2017 adalah hasil yang disayangkan dari pertempuran dengan para pejuang bersenjata.
Dia menyangkal bahwa tentara telah membunuh penduduk sipil, memperkosa perempuan, dan membakar rumah-rumah.
Baca: Rohingya Berdoa Memohon Keadilan sebelum Sidang Genosida Myanmar di Pengadilan Internasional
Para pengkritik menggambarkan tindakan militer oleh tentara sebagai sebuah kampanye pembersihan etnis dan genosida disengaja yang memaksa lebih dari 700.000 Rohingya menyelamatkan diri.
“Penggambaran Aung San Suu Kyi terkait konflik militer internal tanpa niat genosida terhadap Rohingya adalah benar-benar palsu,” Akila Radhakrishnan, presiden di Pusat Keadilan Global di New York, mengatakan dalam pernyataannya kepada Al Jazeera.
“Beberapa agensi dan pakar independen, serta Rohingya sendiri, telah mendokumentasi pembunuhan massal, pemerkosaan luas, dan penghancuran total tanah dan properti yang secara disengaja dilakukan terhadap penduduk sipil tak bersalah.
“Pemerintah telah mendiskriminasi Rohingya selama berdekade-dekade. Ini adalah genosida dan inilah hal yang ingin dicegah oleh Konvensi Genosida.”
Nur Kamal, pengungsi di Kutupalong, juga menolak kesaksian Suu Kyi.
“Militer mengepung orang-orang dan membunuh mereka dengan melepaskan tembakan, membakar mereka – bukankah ini genosida? Apakah ini dibenarkan jika Suu Kyi mengatakan demikian?” Kamal mengatakan kepada AP.
Nurul Alam, pemimpin lain Rohingya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa keputusan Suu Kyi untuk tampil di Den Haag hanya akan menguntungkan dia, bukan orang-orang yang dipaksa menjadi pengungsi.
“Dia adalah bagian dari kekejaman terhadap kami. Dia pergi ke sana untuk berbohong dan mendapatkan dukungan publik untuk pemilihan umum 2020 di Myanmar,” katanya.
Baca: Amnesty International Temukan Bukti Baru Kejahatan HAM Militer Myanmar
‘Kejahatan yang sedang terjadi’
Sebuah tim hukum dari Gambia, yang mewakili Organisasi Kerjasama Islam beranggotakan 57 negara, meminta ICJ di Den Haag untuk mengambil “semua langkah dalam kekuasaannya untuk mencegah semua tindakan yang berarti, atau berkontribusi pada, kejahatan genosida” di Myanmar.
Gambia menuduh genosida itu dilakukan dan sedang berlangsung.
Suu Kyi menuduh Gambia memberi laporan yang menyesatkan dan tidak lengkap tentang apa yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar pada Agustus 2017.
Kehadirannya di mahkamah sangat mencolok karena dia membela militer yang sama yang membuatnya menjadi tahanan rumah selama 15 tahun.
Dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 1991 in absentia karena memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi di bawah pemerintahan militer Myanmar yang berkuasa saat itu.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Myanmar yang mayoritasnya beragama Buddha telah secara konsisten membantah melanggar hak asasi manusia dan mengatakan operasi-operasi militernya di Rakhine, di mana sebagian besar etnis Rohingya tinggal, dibenarkan dalam menanggapi serangan di pos-pos keamanan oleh kelompok bersenjata Rohingya.
Penyelidikan yang dilakukan PBB sebelumnya merekomendasikan penuntutan komandan-komandan militer tinggi Myanmar atas tuduhan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan untuk tindakan keras terhadap Rohingya.
Misi Pencari Fakta Internasional Independen PBB di Myanmar mengatakan pemerkosaan-pemerkosaan Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar adalah tindakan sistematis dan menunjukkan niat untuk melakukan genosida.
Misi itu mengatakan dalam sebuah laporan bahwa diskriminasi yang dilakukan Myanmar terhadap Rohingya di masa damai memperburuk kekerasan seksual terhadap mereka selama masa konflik.
Bangladesh dan Myanmar telah menyetujui kesepakatan untuk memulai pemulangan para pengungsi Rohingya dari Bangladesh, namun dua upaya telah gagal ketika tidak ada yang maju secara sukarela, dengan alasan kekhawatiran keamanan yang berkelanjutan.*