Hidayatullah.com—Lebih dari 200 perusahaan telah mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan wabah coronavirus di Jepang, sehingga ribuan orang kehilangan pekerjaan, menurut perhitungan terakhir sebuah lembaga pelaporan kredit.
Di masa awal wabah coronavirus merebak, banyak hotel jatuh bangkrut dikarenakan penurunan tajam pelancong mancanegara.
Namun, status negara dalam keadaan darurat yang diberlakukan pemerintah guna meredam penyebaran Covid-19 terus diperpanjang sehingga semakin banyak perusahaan yang berguguran. Kebijakan tinggal di rumah membuat belanja masyarakat menurun tajam, akhirnya banyak bisnis yang pendapatan anjlok dan pada saat yang sama utang terus bertambah.
Laporan Tokyo Shoko Research yang dirilis pada hari Rabu menunjukkan ada 210 kasus pailit yang berkaitan dengan coronavirus. Termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan yang sedang mempersiapkan untuk pengajuan pailit. Masing-masing perusahaan yang bangkrut itu memiliki utang lebih dari 10 juta yen ($91.820).
Renown Inc, pembuat pakaian terkemuka, merupakan satu-satunya perusahaan yang terdaftar di bursa saham yang mengajukan pailit.
Perusahaan kecil dengan jumlah karyawan kurang dari 10 mencakup setengah dari jumlah bisnis yang mengajukan bangkrut.
Sedikitnya 7.700 pekerja dari perusahaan-perusahaan bangkrut itu kehilangan pekerjaan. Namun, angka itu hanya menghitung pekerja purna waktu. Apabila pekerja paruh waktu ikut dihitung, maka jumlah orang yang menjadi pengangguran bertambah cukup banyak.
Berdasarkan jenis usahanya, bisnis hotel yang bangkrut sebanyak 34, restoran 34, perusahaan pembuat pakaian 24. Ketiga jenis usaha itu mencakup sekitar 40 persen perusahaan yang pailit, lansir Asahi Shimbun Kamis (4/6/2020).
Sejak Mei, ketika keadaan darurat diperpanjang, banyak jenis usaha lainnya yang nyaris ambruk. Termasuk di antara mereka sebuah perusahaan bus umum yang memiliki rute tetap, sebuah perusahaan peternakan dan perusahaan penyalur pelayan.
“Sampai Mei, perusahaan-perusahaan tidak dapat memperkirakan berapa banyak orang yang akan mendapatkan kehidupan normal mereka kembali setelah status darurat dicabut. Jadi sebagian dari mereka mungkin menunda keputusan mereka untuk bangkrut,” kata Nobuo Tomoda, seorang direktur di Tokyo Shoko Research.
Sebagai gambaran, ketika bank investasi raksasa asal Amerika Serikat Lehman Brothers ambruk pada September 2008, yang menyulut krisis finansial di negeri Paman Sam, dampaknya terasa sampai ke Jepang terutama di kalangan perusahaan besar.
Kala itu, sebanyak 33 perusahaan Jepang yang terdaftar di bursa saham ambruk, jumlah itu yang terbesar sejak Perang Dunia Kedua.
Menyusul krisis Lehman Brothers itu di Jepang pada tahun 2008, jenis usaha keuangan dan asuransi yang bangkrut naik 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Bisnis transportasi yang bangkrut naik sekitar 40 persen, kebangkrutan bisnis informasi dan komunikasi serta real estate masing-masing naik lebih dari 20 persen. Sedangkan untuk kategori bisnis jasa dan lainnya jumlah kasus pailit mengalami kenaikan kurang dari 10 persen.*