Oleh: Baiq Dwi Suci Anggraini, S.Psi
Hidayatullah.com | SAAT ini seluruh dunia mengakui bahwa kita tidak bisa kembali pada kondisi normal, seperti keadaan sebelum pandemi CoVid-19. Pernyataan ini disambut dengan terbitnya Panduan Praktis Satgas CoVid-19 untuk menjalani pola hidup di era New Normal.
Keputusan Menteri Kesehatan yang dirangkum kompas.com (25/05/2020) menyebutkan aturan hidup bersih dan sehat yang harus dipatuhi masyarakat di tempat kerja, baik perkantoran maupun industri. Skenario yang disusun oleh Satgas CoVid-19 pun sudah diwacanakan jauh-jauh hari untuk melakukan upaya bertahap menuju gaya hidup normal baru, mulai dari sektor lembaga agama hingga pendidikan.
Dilansir globaltimes.cn pertengahan Mei lalu, gelombang kedua kluster orang yang positif terinfeksi CoVid-19 di Cina semakin ganas. Dikhawatirkan karena munculnya kebijakan pemerintah Cina yang tergesa-gesa menormalkan berbagai aktivitas publik, justru gelombang infeksi global akan terjadi sepanjang tahun. Beberapa ahli dan peneliti bahkan memprediksi gelombang infeksi berulang terus sampai vaksin diprediksi baru tersedia tahun depan. Ibarat berperang dengan waktu dan nyawa manusia, tingkat resiko penularan lokal rentan menjangkit warga yang dipaksa hidup berdamai dengan wabah.
Di Indonesia, langkah gegabah mengambil kebijakan untuk berdampingan dengan pandemi seharusnya menjadi catatan serius. Di satu sisi pemerintah ingin bergegas memulihkan ekonomi menuju normal, tapi di sisi lain masyarakat dihadapkan oleh jebakan kesehatan yang tidak terjamin secara pasti. Berharap menyeimbangkan sektor ekonomi dan kesehatan dalam waktu cepat, sayangnya kita terlambat menghambat keruntuhan sektor tersebut. Dampak melemahnya ekonomi yang dianggap genting, akhirnya keselamatan manusia seolah dianggap tidaklah penting.
Beberapa daerah mulai melonggarkan PSBB, misalnya Bali yang merupakan pusat destinasi wisata dan kelumpuhan ekonomi benar-benar terasa nyata di sana (kompas.com/16 Mei 2020). Disusul munculnya daerah lain yang merelaksasi pengetatan PSBB dengan mempertimbangkan berbagai keluhan masyarakat. Sementara sejak awal kita dapat menilai bahwa kordinasi antara pemerintah pusat dan daerah memang tidak sinkron. Sinergi antar keduanya tidak sepemahaman, muncullah berbagai persepsi di tengah masyarakat yang kemudian mengabaikan arus perjalanan pandemi ini.
Edukasi dan sosialisasi yang tidak imbang, menyebabkan publik terkesan pasrah dan seolah muncul anggapan bahwa virus corona tidak membahayakan. Hingga muncul hastag tagar #IndonesiaTerserah, semakin membulatkan opini bahwa masyarakat bertindak ceroboh dengan menyepelekan aturan social distancing, dan lain sebagainya. Benarkah gelombang meningkatnya angka infeksi CoVid-19 di nasional, akibat ketidakpedulian masyarakat? Atau bisa jadi, naiknya kurva kasus di berbagai daerah justru disebabkan karna timpang tindihnya kebijakan pemerintah yang membingungkan publik.
Dengan demikian lepasnya kontrol regulasi dari berbagai Kementerian memunculkan hilangnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Faktor inilah yang memicu potensi tingginya kurva kasus tanpa menemukan titik jeda. Ditambah munculnya kesan kepasrahan Negara membendung penularan pandemi, timbullah upaya adaptasi oleh pemerintah untuk memaksakan masyarakat hidup damai di tengah wabah. Langkah strategisnya adalah dengan menawarkan solusi memasuki era New Normal sebagai alternatif mendesak.
Masyarakat diminta tetap memperhatikan protokol kesehatan di ruang umum, sektor ekonomi dibebaskan membuka diri hingga bangkit perlahan. Bersedia melaksanakan physical distancing, menggunakan masker, jaga jarak aman 1 sampai 2 meter di ruang publik, dianggap merupakan alternatif yang lebih baik daripada mematikan pertumbuhan pasar. Kebiasaan mencuci tangan, memperhatikan sanitasi diri dan lingkungan, poin ini digambarkan lebih solutif daripada menutup laju pergerakan masyarakat. Kebijakan inilah yang disebut New Normal, momentum membiasakan kondisi normal baru di tengah durasi pandemi yang tak menentu.
Dengan dalih menetralisir kondisi ekonomi, masyarakat perlu disiapkan fisik dan mentalnya untuk menghadapi era normal baru. Namun jika tidak ada kesiapan untuk menjaga imunitas tubuh masyarakat, kenekatan memasuki era New Normal sama saja dengan bunuh diri massal. Berikutnya, kekuatan penemuan vaksin harus didukung dengan suntikan dana yang loyal kepada para ilmuwan negeri. Penambahan alat tes dan akurasi ketepatan hasil tes harus diterapkan dengan kesungguhan pemerintah dalam meningkatkan materi pendukungnya.
Paradigma “New Normal” dalam Perspektif Islam
Sejarah timbul tenggelamnya wabah di masa umat Islam banyak menghiasi khazanah keilmuan. Menariknya, Donald Trump diberitakan telah menunjuk seorang ilmuwan muslim sebagai Kepala Peneliti Program Vaksin CoVid-19 (sumber: detiknews, 18 Mei 2020). Dr. Moncef Slaoui, ahli imunologi yang diakui telah membantu pembuatan 14 vaksin baru selama 10 tahun terakhir, meyakini bahwa vaksin untuk CoVid-19 akan tersedia paling lambat pada akhir 2020. Dalam programnya ini, Amerika menggagas upaya percepatan dan penyebaran vaksin ke seluruh Amerika dalam dosis yang sangat besar. Lebih menarik lagi, Dr. Moncef Slaoui berani menargetkan penyediaan vaksin lebih cepat dalam akhir 2020 ketika para ilmuwan lain menyatakan membutuhkan waktu hingga 2021.
Literasi penemuan vaksin oleh ilmuwan muslim pun sebenarnya sudah dicetuskan jauh sebelum peradaban kapitalis muncul. Ar Razi, atau di dunia Barat dikenal dengan nama Rhazes, menemukan metode vaksinasi pertama dan bahkan meletakkan dasar teori imunitas bawaan. Buku Ar Razi yang berjudul Al Judari wal Hasbah (cacar dan campak) mengemukakan pembahasan mengenai patologis medis pada penyakit menular dan berbagai pembuktian eksperimennya. Karya inilah yang kemudian diterjemahkan belasan kali ke berbagai bahasa, salah satunya diadaptasi ulang oleh Moore J (1815) dalam judul “The History of The Smallpox”.
Kekayaan pengalaman dan kesuksesan umat Islam mengentaskan epidemi bukanlah peristiwa baru yang patut diragukan. Kehadiran ajaran Islam dan khazanah medisnya telah membuktikan tangguhnya sebuah paradigma yang dimiliki umat Islam. Dalam anjuran bersuci untuk menghilangkan na’jis dan hadats misalnya, Islam memiliki kerincian aturan yang perlu diperhatikan. Puncak paradigma ini juga dibangun oleh aturan lain dalam berekonomi dan menerapkan gaya hidup sehat ala kepemimpinan Nabi.
Apabila dalam protokol terkecil seperti kebiasaan menjaga diri dari hal yang kotor, berwudhu atau mandi bersih, tidak sembarang bersentuhan dengan orang lain, dan menjaga jarak interaksi sudah terbiasa diterapkan, maka untuk merevolusi paradigma hidup di era New Normal bukanlah hal yang sulit. Jika aturannya sekedar mempraktiskan pola hidup sehat dengan makan makanan bergizi nan menyehatkan, tentu mudah dilakukan. Rajin berolahraga dan menjaga stamina daya tahan tubuh, bukanlah hal yang sukar. Tantangannya, mampukah kita merevolusi paradigma New Normal dalam tataran konsep dan strategi kongkrit?
Kita bisa mulai dari menginstal ulang bangunan negaraan yang aman dari virus, sehingga bersih sistemnya dan sehat ekonominya. Perubahan pada semua bidang pasca pandemi harus lekas digalakkan, pastinya di atas paradigma New Normal yang terbukti sukses mengentaskan wabah. Oleh karena itu sudut pandang Islam ketika memasuki era New Normal berhasil mengatur kehidupan masyarakat dengan tegas dan tuntas, mulai dari mitigasi hingga pengaturan berskala besar.
Selain itu kesehatan publik tidak bisa dijadikan ujicoba, sehingga alternatif memasuki era New Normal sungguh bukanlah solusi yang tepat. Kondisi normal baru ala Satgas CoVid-19 memang bisa saja ditempuh, apabila Indonesia siap menjamin imunitas masyarakatnya selamat dari serangan virus. Namun selama tidak ada kesiapan sementara kondisi Indonesia masih belum normal, maka solusi New Normal hanyalah solusi bunuh diri massal. Lepas dari satu jeratan, masuk pada jeratan lainnya sampai muncul gelombang transmisi baru yang tak terbendung.
Padahal untuk mengendalikan pandemi, dibutuhkan paradigma lain daripada yang lain. Tidak cukup sekedar menginstruksikan diam di rumah, tidak mudik, atau tidak melakukan perjalanan ke wilayah pandemi, tetapi sabuk pengamannya malah longgar. Maka, kemandirian sebuah Negara harusnya dibangun untuk melawan dan membasmi CoVid-19 ini dengan disiplin ketat. Sebaliknya jika produksi vaksin sifatnya hanya menunggu kucuran dana yang terbatas, atau rileksasi ekonomi dipulihkan dengan upaya memasuki era New Normal, bisa dipastikan Indonesia kolaps. Kian bermasalah sistem medisnya, kian bangkrut ketahanan ekonominya.
Kemudian kita harus berani merevolusi paradigma Islam dalam meninjau problematika pandemi. Secepatnya memberikan penjaminan sandang pangan bagi kebutuhan primer rakyat agar tak ada alasan bagi mereka melanggar PSBB. Kedua, fokus menghadapi corona dengan mengadaptasi paradigma Islam dalam mengentaskan wabah. Solusi jangka pendek maupun jangka panjang ini, nantinya akan menghentikan arus penularan dari manusia ke manusia.
Terakhir, negara punya kewenangan mengubah mindset masyarakat mengenai pentingnya kesadaran hidup bersih dan sehat. Sembari memaksimalkan peluang untuk memetakan solusi yang pas memasuki era New Normal. Selanjutnya akan tumbuh kesehatan masyarakat global, diikuti berkembangnya stabilitas ekonomi di atas kemandirian sistem politiknya. Berpindah dari wacana New Normal, menuju semangat berevolusi yang benar. Siapkah Indonesia?*
Penulis praktisi pendidikan