Hidayatullah.com—Pakar PBB menuduh Mesir menggunakan pengadilan terorisme khusus untuk memenjarakan para pembela hak asasi manusia dan membungkam perbedaan pendapat, Middle East Eye melaporkan.
Pemerintah Presiden Abdel Fattah As-Sisi dianggap telah “sangat membahayakan” kehidupan aktivis dengan memenjarakan mereka selama pandemi.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jum’at (02/10/2020) bahwa Kairo memperlakukan kebebasan berbicara sebagai terorisme.
“Tuduhan terorisme dan pengadilan luar biasa digunakan untuk menargetkan kegiatan hak asasi manusia yang sah, dan memiliki efek mengerikan yang mendalam pada masyarakat sipil secara keseluruhan,” menurut 10 spesialis internasional, termasuk pelapor PBB tentang kontra-terorisme dan pembunuhan di luar hukum.
“Penggunaan pengadilan terorisme untuk menargetkan dan melecehkan masyarakat sipil tidak sejalan dengan aturan hukum.”
Pernyataan itu muncul beberapa hari setelah Mesir mengeksekusi 15 tahanan politik yang telah ditahan sejak 2014.
Para ahli PBB mengecam pengadilan terorisme, dengan mengatakan bahwa mereka merusak hak-hak hukum dasar terdakwa, termasuk praduga tidak bersalah. Pengadilan khusus dibentuk pada tahun 2013 setelah kudeta yang dipimpin Sisi menggulingkan pemerintahan terpilih presiden Mohamed Morsi.
“Terdakwa tidak menikmati hak untuk berunding dengan aman dan rahasia dengan pengacara mereka,” kata para ahli.
“Selain itu, ketika terdakwa diadili dari balik kaca atau di dalam sangkar logam, kadang-kadang dipotong dari persidangan atas kebijakan hakim ketua, mereka tidak dapat secara efektif menggunakan hak mereka untuk hadir di persidangan mereka sendiri.”
Mesir telah memulai tindakan keras brutal terhadap perbedaan pendapat sejak 2013, memenjarakan lebih dari 60.000 aktivis dan memberlakukan tindakan sensor ketat pada wacana publik.
Sisi secara konsisten membantah adanya tahanan politik di Mesir, menyebut tindakan keras itu sebagai bagian dari perang melawan terorisme. Setelah berkuasa, dia melarang Ikhwanul Muslimin dan memasukkannya ke dalam daftar hitam sebagai kelompok teror.
Pada hari Kamis (08/10/2020), para pendukung PBB mengutip kasus Bahey El-Din Hassan, direktur dan salah satu pendiri Institut Studi Hak Asasi Manusia Kairo, yang dijatuhi hukuman 15 tahun in absentia pada bulan Agustus karena kritiknya terhadap pemerintah.
“Itu adalah tindakan pembalasan, tampaknya (Mesir) menghukum (dia) atas kerjasamanya dengan PBB,” kata pernyataan itu.
“Pelaksanaan kebebasan berbicara dan hak asasi manusia diperlakukan sebagai terorisme, dan tampaknya Pengadilan Sirkuit Terorisme digunakan untuk membalas terhadap aktivitas hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional.”*