Hidayatullah.com — Presiden Tunisia Kais Saied mengumumkan bahwa ia telah sepenuhnya mengambil alih otoritas eksekutif, menangguhkan parlemen.
Selama pertemuan dengan para pemimpin militer, Saied mengatakan dia telah memutuskan untuk memecat Perdana Menteri Hicham Mechichi, menurut halaman Facebook resmi Kepresidenan Tunisia.
Dia menambahkan bahwa dia memutuskan untuk mencabut kekebalan semua anggota parlemen, yang dikenal sebagai Majelis Perwakilan Rakyat. Ia juga akan melayangkan penuntutan publik sendiri.
Keputusan ini dia ambil setelah “berkonsultasi” dengan Mechichi dan Ketua Parlemen Rached Ghannouchi. Selain itu, sang presiden juga akan mengambil keputusan lain sampai perdamaian sosial dipulihkan di negara itu.
Sementara, Ghannoughi mengatakan langkah Saeid tidak lain adalah “kudeta penuh” terhadap konstitusi, revolusi dan kebebasan Tunisia.
Ketua Parlemen itu meminta rakyat Tunisia untuk “memulihkan demokrasi” melalui cara-cara damai. Ia menyebut langkah presiden menyeret negara itu ke dalam “pemerintahan satu orang”.
Wakil pemimpin partai Islam An Nahda Ali Larayedh juga mengatakan dalam sambutannya kepada saluran berita Al-Jazeera bahwa presiden Tunisia telah melakukan kudeta terhadap konstitusi dan revolusi 2011.
Larayedh mempertanyakan nasib perdana menteri, mengatakan dia diberitahu bahwa Mechichi telah “ditahan” di istana presiden.
Kepresidenan Tunisia belum mengomentari klaim Larayedh.
Tunisia telah dilanda krisis mendalam sejak 16 Januari, ketika Perdana Menteri Hichem Mechichi mengumumkan perombakan kabinet tetapi Presiden Kais Saied menolak untuk mengadakan upacara pelantikan menteri baru. Negara ini telah menyaksikan protes di beberapa daerah di tengah penurunan ekonomi besar yang diperburuk oleh pandemi virus corona.
Tunisia, tempat kelahiran revolusi Musim Semi Arab 2011, telah diguncang oleh kerusuhan sosial dan kesulitan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut terjadi karena pemerintah berturut-turut gagal memperbaiki kondisi kehidupan rakyat Tunisia.*