Hidayatullah.com — Rakyat Tunisia yang berhasil menggulingkan diktator Zainal Abidin bin Ali (Zine El Abidin Ben Ali) melalui aksi protes Musim Semi Arab (Kebangkitan Dunia Arab) pada 2011 karena memerintah secara korup kini kembali menghadapi krisis demokrasi. Hal ini terjadi setelah Presiden negara itu, Kais Said ‘mengkudeta’ Parlemen hari Ahad lalu dan menjatuhkan Perdana Menteri Hichem Mechichi, menyusul protes terhadap partai yang berkuasa oleh rakyat.
Said membuat pengumuman setelah mengadakan rapat darurat di istananya dengan membunyikan klakson mobil di jalan-jalan. Sementara ribuan warga Tunisia berbaris di beberapa kota untuk memprotes kegagalan pemerintah untuk menurunkan angka kasus Covid-19.
Ini adalah kerusuhan terbaru di negara Afrika yang miskin setelah Zainal Abidin, yang pernah memerintah negara itu, melarikan diri pada 14 Januari 2011, mengakhiri 23 tahun cengkramannya di negara itu. Dia kemudian dilaporkan meninggal di pengasingan pada 2019 di Jeddah, Arab Saudi.
Zainal Abidin melarikan diri setelah seorang pemuda, penjaja sayur yang miskin, Mohamad Bouazizi (26) melakukan aksi bakar diri akibat kekerasan aparat polisi di Kota Sidi Bouzid. Bouazizi kemudian meninggal karena luka-lukanya pada 4 Januari 2011.
Bouazizi menjadi pahlawan di negara itu, yang kemudian memicu aksi protes yang menjatuhkan Presiden Bin Ali. Setelah Tunisia berminggu-minggu kerusuhan di mana 338 orang tewas dan Bin Ali melarikan diri ke luar negeri menjadikannya pemimpin pertama yang digulingkan di Musim Semi Arab.
Pada Oktober 2011, Tunisia menyaksikan partai Islam Ennahdha (An Nahdah) yang moderat memenangkan 90 dari 217 kursi di Parlemen Baru. Ini menunjuk pemimpin oposisi Moncef Marzouki sebagai Presiden pada Desember 2011.
Namun, protes publik sekali lagi terjadi ketika polisi bentrok dengan ribuan penduduk yang menganggur di wilayah pertambangan barat daya negara itu. Sementara itu, serangkaian pemogokan dan demonstrasi mempengaruhi industri, layanan publik, transportasi, bisnis dengan lebih banyak kerusuhan yang mempengaruhi ekonomi domestik.
Pada bulan Februari 2013, pemimpin oposisi Chokri Belaid dibunuh di Tunis dan pada bulan Juli tahun yang sama, seorang politisi terkemuka, Mohamed Brahmi juga ditembak mati. Daesh mengklaim telah melakukan aksi tersebut, memicu krisis lain di negara dengan luas wilayah 165.000 kilometer persegi ini.
Pada 2015, Tunisia menghadapi tiga serangan yang diduga dilakukan oleh Daesh yang menewaskan 72 orang sebagian besar turis asing dan pasukan keamanan museum serta di resor tepi laut. Pada tahun 2016, gelombang aksi protes baru juga meletus setelah kematian seorang pria pengangguran.
Sementara itu, pada awal 2018, protes juga terjadi setelah anggaran penghematan diberlakukan. Pada Oktober 2019, partai Ennahdha memenangkan kursi terbanyak di Parlemen tetapi masih tidak mendapatkan mayoritas untuk membentuk pemerintahan.
Seminggu kemudian, seorang akademisi tanpa latar belakang politik diangkat menjadi Presiden yaitu Said. Dalam 10 tahun, sejak Musim Semi Arab, Tunisia telah memiliki sembilan pemerintahan.
Setelah memecat perdana menteri, presiden Tunisia menerapkan jam malam dari pukul 7 malam hingga 6 pagi waktu setempat dan melarang pertemuan lebih dari tiga orang diadakan di tempat-tempat umum dalam upaya untuk menurunkan kasus Covid-19.
Pascapembekuan parlemen, terjadi bentrokan itu berujung ricuh, antara kelompok pro-Said dan anti-Said. Pendukung gerakan Ennahda – yang memegang 53 kursi di 217 anggota parlemen – mengecam keputusan Said dan menyebutnya sebagai “kudeta”. Di sisi lain, para pendukung mengelu-elukan keputusan Saied sebagai “revolusi”.
Sementara itu, pasukan keamanan Tunisia pada Senin (26/7/2021) menggerebek kantor berita Qatar Aljazeera di ibu kota Tunis dan meminta para staf di dalam untuk meninggalkan kantor tersebut. Koresponden Aljazirah di Tunisia, Reda Tammam, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa sejumlah personel keamanan menyerbu kantor saluran berita tersebut pagi ini, dan “meminta kru kami untuk meninggalkan tempat itu.”
Ketua Parlemen Rachid Ghannouchi, kepala Ennahdha, yang telah memainkan peran dalam pemerintahan koalisi berturut-turut, mengecam langkah tersebut sebagai kudeta dan serangan terhadap demokrasi. Senin, dini hari, Ghannouchi tiba di parlemen di mana dia mengatakan dia akan mengadakan sesi menentang Said, tetapi tentara yang ditempatkan di luar gedung menghentikan mantan pengasingan politik berusia 80 tahun itu untuk memasuki gedung.
“Saya menentang pengumpulan semua kekuasaan di tangan satu orang,” katanya di luar gedung parlemen. Dia sebelumnya meminta warga Tunisia untuk turun ke jalan, seperti yang telah mereka lakukan pada hari revolusi tahun 2011. Dikutip NBC News, lusinan pendukung Ennahdha berhadapan dengan pendukung Said di dekat gedung parlemen, saling menghina saat polisi memisahkan mereka, gambar-gambar televisi kemudian melaporkan kejadian ini.
Pada hari Senin, sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pemerintahan Biden prihatin dengan perkembangan yang terjadi di negara itu. Ditanya apakah situasi tersebut mewakili kudeta, rupanya AS bungkan mengatakan itu, dengan dalih itu keputusan hukum.
Namun, Psaki mengatakan pejabat pemerintah “berhubungan di tingkat senior” dengan rekan-rekan di Tunisia “untuk mempelajari lebih lanjut tentang situasi, mendesak ketenangan dan mendukung upaya Tunisia untuk bergerak maju sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.”
Said, seorang politikus independen yang mulai menjabat pada 2019 setelah berkampanye sebagai momok elit yang korup dan tidak kompeten, menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan kudeta. Dia mengatakan tindakannya didasarkan pada Pasal 80 konstitusi dan membingkainya sebagai tanggapan populer terhadap kelumpuhan ekonomi dan politik yang telah menjerumuskan Tunisia selama bertahun-tahun.
‘Situasi yang lebih buruk’
Dua partai utama lainnya di parlemen, Heart of Tunisia dan Karama, bergabung dengan Ennahdha dalam menuduh Saied melakukan kudeta. Partai Ennahda mengatakan negaranya “tidak akan menerima kembalinya kediktatoran.”
Yusra Ghannouchi, juru bicara internasional untuk partai serta putri Ketua Parlemen Tunisia Rached Ghannouchi, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa dia adalah salah satu dari rakyat yang meninggalkan negara itu dan tinggal di Inggris selama 20 tahun hingga revolusi Tunisia 2010-2011 membawa “kebebasan dan harapan.”
“Tunisia telah mengalami krisis politik dengan kurangnya kerjasama antara berbagai lembaga, kepresidenan, pemerintah, dan parlemen dengan penolakan presiden untuk menyetujui perombakan menteri dan undang-undang baru untuk mendirikan Mahkamah Konstitusi,” ujar Ghannouchi. “Ada ketidakpuasan dengan krisis ini,” dia mengakui, tetapi Ghannouchi menambahkan, “Tidak ada pembenaran untuk mengeksploitasi ini untuk sepenuhnya menangguhkan proses demokrasi.”
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada Selasa mengatakan bahwa dia berharap Tunisia kembali ke stabilitas dan perdamaian dengan transisi yang cepat dari fase saat ini.*