Hidayatullah.com– Setelah tidak terdengar aktif selama sepuluh tahun, kelompok pemberontak M23 di bagian timur Republik Demokratik Kongo kembali beraksi melancarkan serangan terhadap pasukan pemerintah. Akibatnya puluhan ribu orang mengungsi ke negara tetangga Uganda.
Menurut sejumlah sumber lokal, baku tembak antara pasukan pemerintah RD Kongo dengan pemberontak M23 kembali terdengar pada hari Rabu lalu, lansir DW.
Pada 28 Maret, petempur M23 menyerang posisi-posisi tentara Kongo di Rutshuru di dekat perbatasan dengan Rwanda dan Uganda.
“Orang-orang meninggalkan rumah mereka. Mereka melarikan diri dari kekerasan di daerah di mana pemberontak menyerang pasukan RDK dan bergerak ke Uganda,” kata Wema Ndagije, seorang tokoh masyarakat kepada DW.
Simon, ayah enam anak, merupakan salah satu pengungsi. “Kami meninggalkan rumah ketika kami melihat pemberontak berada tidak jauh. Peluru beterbangan, jadi kami datang ke sini,” katanya.
“Sampai saat ini tidak ada yang membantu kami. Kami menderita karena kami bahkan tidak punya gubuk, dan ketika hujan, kami tidak tahu harus berbuat apa,” ujarnya kepada DW (8/4/2022).
Menurut badan urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, puluhan ribu orang melarikan diri dari Bunagana – berjarak kurang dari 90 kilometer dari ibu kota provinsi Goma – menuju distrik Kisoro di wilayah barat daya Uganda.
Tentara Kongo membenarkan serangan itu dan menuduh tentara Rwanda membantu pemberontak M23.
Pemerintah Rwanda dan M23 menolak tuduhan tersebut.
“M23 adalah gerakan politik-militer Kongo dan tidak menerima dukungan dari negara tetangga mana pun, dekat atau jauh,” kata juru bicara M23 Willy Ngoma kepada DW.
Dia mengatakan pernyataan fitnah oleh tentara [Kongo] itu ditujukan untuk menutupi ketidakmampuan mereka.
Kelompok pemberontak itu mengatakan sedang mengupayakan dialog dengan pemerintah dan telah menarik pasukannya dari zona pertempuran.
M23 dibentuk oleh mantan anggota kelompok milisi Tutsi yang dikenal sebagai National Congress for the Defense of the People (CNDP), yang pernah mendapatkan dukungan dari Rwanda dan Uganda.
Para petempurnya kemudian dimasukkan ke dalam tentara Kongo sebagai bagian dari perjanjian damai yang ditandatangani pada 23 Maret 2009.
Namun, mereka memberontak pada 2012, berdalih bahwa kesepakatan tersebut tidak ditegakkan, dan menamai kelompok mereka Gerakan 23 Maret (M23).
Pemberontakan M23 berpuncak pada 2012 dan 2013 ketika mereka menguasai sebagian besar daerah di Provinsi North Kivu di bagian timur RD Kongo.
M23, satu dari sekian banyak kelompok bersenjata yang beroperasi di RD Kongo bagian timur, sempat menguasai Goma sebelum akhirnya dipukul mundur pasukan pemerintah Kongo yang didukung pasukan perdamaian PBB (MONUSCO).
Setelah kekalahan itu, M23 menandatangani perjanjian dengan Kinshasa yang mencakup ketentuan untuk melakukan reintegrasi para petempurnya ke dalam masyarakat sipil.
Namun lagi-lagi, kelompok itu menuding pemerintah Kinshasa tidak mematuhi perjanjian, dan tahun lalu mereka kembali memanggul senjata dan menyerang pasukan pemerintah.
Sejak itu, telah ada upaya regional untuk mengadakan dialog dan perlucutan senjata, kata Alex Vines dari wadah pemikir berbasis di Inggris Chatham House. Namun, dia mencatat bahwa para pemimpin M23 berulang kali mengeluhkan lambatnya implementasi perjanjian.
“Mereka menginginkan proses perlucutan senjata dan demobilisasi, dan itu tampaknya tidak terlihat,” kata Vines kepada DW.
Lebih dari 20 tentara tewas pada bulan Januari di Nyesisi, dekat Virunga National Park, kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO untuk gorila gunung yang terancam punah, lapor AFP.
Pada tanggal 28 Maret, M23 melancarkan serangan terhadap posisi tentara di Rutshuru dari benteng mereka di perbukitan tinggi di daerah itu.
“Pemberontak ini telah dengan cepat merebut dua desa penting yang strategis pada November 2021,” kata Vines.
Pengaruh dari negara tetangga
Persaingan politik tampaknya membara di wilayah tiga negara yang bertetangga, RD Kongo, Uganda, dan Rwanda.
Menurut Vines, penyelidik PBB dalam beberapa kesempatan memastikan bahwa Rwanda dan Uganda juga mendukung aktivitas M23.
“Negara kami sedang diserang. Rwanda menyerang kami. Tidak dapat disangkal lagi,” kata seorang anggota parlemen yang marah di Kinshasa tentang pertempuran pekan lalu.
Menurut catatan PBB, setidaknya 2.300 warga sipil telah tewas akibat pertempuran di Kongo timur tahun ini saja. Di samping itu, terjadi kecelakaan helikopter PBB yang menewaskan enam orang pada akhir Maret.
Pihak berwenang RD Kongo menuduh M23 menembak jatuh helikopter, tetapi pemberontak mengatakan mereka tidak bertanggung jawab. Namun demikian, pihak berwenang telah memulai penyelidikan atas insiden mematikan tersebut.
Uganda juga menuduh Rwanda mendukung M23 untuk mengacaukan negaranya.
Onesphore Sematumba dari International Crisis Group (ICG) belum lama ini mengatakan serangan M23 di Bunagana bukan tidak disengaja. Serangan itu terjadi ketika material untuk pembangunan jalan baru antara RD Kongo dan Uganda sedang dikirimkan.
Rute jalan baru itu menyenggol sepanjang perbatasan Rwanda, yang pastinya tidak terima apabila tentara Uganda bercokol di sana melakukan pengamanan.
Sepertinya, pemerintah Kigali memanfaatkan M23 yang memiliki persenjataan cukup lengkap untuk mengacaukan proyek tersebut.*