Hidayatullah.com — Pemimpin Imarah Islam Afghanistan (IEA), Taliban, mengecam keras serangan pasukan penjajah ‘Israel’ terhadap jamaah Palestina di dalam Masjidil Aqsa yang menyebabkan ratusan orang terluka.
“Imarah Islam Afghanistan mengutuk keras kekerasan yang diarahkan pada warga sipil Palestina oleh penjajah di Masjid Al Aqsa, kiblat pertama umat Islam,” kecam juru bicara Kementerian Luar Negeri IEA, Abdul Qahar Balkhi, melalui akun Twitter resminya (15/04/2022).
Selain mengecam serangan ke Masjidil Aqsa, Taliban juga meminta masyarakat internasional terutama negara-negara Muslim untuk segera bertindak melindungi Palestina dan menghentikan kebrutalan zionis ‘Israel.
“Imarah Islam Afghanistan menyerukan masyarakat int. khususnya negara-negara Muslim agar mengambil langkah-langkah praktis untuk melindungi hak asasi manusia Palestina & menghentikan kebrutalan Israel,” lanjutnya.
Pada Jumat subuh, pasukan ‘Israel’ menyerbu ruang sholat Al Qibli di kompleks Masjidil Aqsa dan menyerang para jamaah sholat dengan granat suara dan tembakan peluru karet.
Pengelola masjid, Waqaf Islam, mengatakan pada hari Jumat pasukan ‘Israel’ mulai menyerbu masuk sebelum fajar, ketika ribuan jamaah berkumpul di masjid untuk sholat subuh.
Video yang beredar online menunjukkan warga Palestina melempar batu dan pasukan ‘Israel’ menembakkan gas air mata dan granat kejut.
Video lain memperlihatkan jamaah membarikade diri mereka di dalam masjid di tengah serangan gas air mata.
Menurut Bulan Sabit Merah Palestina, pasukan Israel telah menghalangi kedatangan ambulans dan paramedis untuk mencapai masjid, karena media Palestina mengatakan puluhan jemaah yang terluka masih terjebak di dalam kompleks.
Pasukan ‘Israel’ mengatakan mereka menangkap setidaknya 300 warga Palestina selama eskalasi terbaru.
Warga Palestina dan ‘Israel’ telah menyaksikan peningkatan kekerasan selama sebulan terakhir, dengan penyerang Palestina menargetkan kota-kota Israel dan pasukan ‘Israel’ meningkatkan penyerbuan, penembakan dan penangkapan di Tepi Barat yang diduduki secara ilegal.
Lonjakan baru-baru ini menandai gelombang kekerasan paling mematikan sejak 2016.*