Hidayatullah.com– Rakyat Prancis segera akan menentukan presiden mereka untuk periode lima tahun ke depan, Emmanuel Macron atau Marine Le Pen. Keduanya menyodorkan agenda berbeda, tetapi sama-sama tidak suka jilbab Muslimah.
Saat Le Pen dan saingannya Presiden Emmanuel Macron bersiap untuk pemilihan putaran kedua akhir pekan depan, mereka dihadapkan oleh para wanita berjilbab yang bertanya mengapa pilihan pakaian mereka harus begitu kontroversial di Prancis.
Di pasar petani di kota Pertuis di bagian selatan Prancis, seorang wanita dengan penutup kepala biru-putih mendekati Le Pen, yang gigih mempertahankan posisinya pendiriannya, menyebut jilbab sebagai “seragam yang diwajibkan dari dulu hingga sekarang oleh orang-orang yang memiliki visi radikal tentang Islam.”
“Itu tidak benar,” bantah wanita berhijab itu. “Saya mulai memakai jilbab ketika saya telah menjadi wanita yang lebih tua … Bagi saya, itu adalah tanda bahwa saya menjadi seorang nenek.”
Le Pen juga berdalih bahwa di “beberapa daerah” di Prancis, wanita yang tidak mengenakan jilbab “diasingkan dan diadili.”
Meskipun telah memperlunak sikap anti-imigrasi dan anti-Islamnya dalam beberapa bulan terakhir,
Le Pen mengusulkan denda bagi orang yang mengenakan jilbab di tempat publik, sama seperti denda pelanggaran lalu lintas, lansir Deutsche Welle.
Calon petahana Emmanuel Macron juga me debat seorang wanita Muslim pengguna jilbab dalam siaran hari Jumat (15/4/2022) di radio France-Info, tetapi berusaha menjauhkan diri dari Le Pen dengan mengatakan bahwa dia tidak akan mengubah hukum apa pun di Prancis yang ada saat ini terkait jilbab.
Dia membela larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah sebagai bagian dari prinsip-prinsip sekuler negara Prancis.
Wanita Muslimah yang mendebat Macron, Sara El Attar, mengatakan bahwa dia merasa terhina dengan pernyataan-pernyataan Presiden Prancis itu sebelumnya di mana dikatakannya bahwa jilbab mengganggu hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Presiden petahana itu sebelumnya dituduh memicu prasangka terhadap Muslim atas sikap kerasnya pada apa yang disebutnya “Islamisme radikal.”
Setelah terjadi serangkaian serangan oleh pelaku-pelaku yang beragama Islam pada akhir 2020, pemerintah Prancis pimpinan Macron menuding “Islamis radikal” dan memberlakukan sejumlah kebijakan yang katanya bertujuan meredam penyebarannya di Prancis.
Macron pastinya sangat sadar bahwa lima juta Muslim Prancis – yang mencakup hampir 9% populasi – bisa menentukan nasibnya dalam pemilihan presiden putaran kedua melawan Marine Le Pen.
Menurut sebuah survei oleh Ifop, sebanyak 69% pemilih Muslim pada putaran pertama memberikan suaranya untuk Jean-Luc Melenchon, calon presiden yang memperoleh suara terbanyak ketiga setelah Macron dan Le Pen.
Apabila Macron dapat memikat hati para pemilih itu, dia dipastikan akan menjadi pemenang dalam putaran kedua.
Dibandingkan pertarungan sebelumnya di putaran kedua dalam pemilu tahun 2017, perbedaan suara yang didapat Macron kali ini hanya terpaut sedikit dengan Le Pen, politisi kanan-jauh yang dikenal rasis dan anti-Islam.*