Hidayatullah.com– Gelombang hawa panas yang menerba wilayah Amerika Serikat menimbulkan efek mematikan bagi hewan ternak, di mana Kansas melaporkan 2.000 ekor sapi tewas terpanggang hawa panas.
Dilansir The Guardian Kamis (16/6/2022), pekan ini National Weather Services (NWS) memprediksi panas ekstrem di beberapa daerah pesisir Gulf (Teluk) dan menyebar ke daerah sekitar danau Great Lakes di bagian tengah-barat AS. Lebih dari 100 juta penduduk Amerika dianjurkan agar tetap tinggal di dalam rumah agar tidak tersengat hawa panas.
Kansas juga dihantam keras gelombang panas dan akan terus demikian selama beberapa waktu ke depan. Negara bagian itu adalah salah satu dari tiga produsen daging sapi teratas di Amerika Serikat, di mana jumlah sapi dua kali lebih banyak daripada manusia, dan daging sapi adalah salah satu ekspor utamanya.
Menurut United States Environmental Protection Agency (EPA), gelombang panas di AS terus meningkat berdasarkan frekuensi, durasi, dan intensitasnya dalam empat dekade sejak 1960-an.
Dikatakan oleh EPA jumlah tahunan gelombang panas meningkat dari dua pada 1960-an menjadi enam pada 2010-an. Musim gelombang panas sekarang mengakumulasi lebih banyak hari daripada dekade sebelumnya: pada 1960-an musim gelombang panas berlangsung sekitar 20 hari, pada 2010-an mencapai rata-rata 70 hari.
“Yang jelas bagi hewan ternak (dan manusia, dalam hal ini) masalah stres hawa panas akan semakin menantang untuk diatasi bagi peternak, sebab bumi semakin panas,” kata Philip Thornton, seorang peneliti iklim dan profesor yang menulis laporan tahun 2021 tentang dampak peningkatan temperatur bumi pada ternak.
Gerald C Nelson, rekannya dalam penulisan laporan tersebut, membagikan pengalaman yang lebih pribadi.
Nelson, seorang ekonom pertanian dan profesor emeritus di University of Illinois Urbana-Champaign (UIUC), berasal dari keluarga petani ternak. Kurun dua tahun terakhir saja, satu-satunya sepupunya yang menggeluti usaha peternakan mengalami kerugian besar berupa kekeringan ekstrem, kebakaran lahan yang menghanguskan sebagian besar lahan pengembalaan dan kerusakan infrastruktur fisik yang banyak.
Thornton, yang merupakan ahli strategi penelitian di Netherlands Food Partnership dan seorang profesor di University of Edinburgh, mengatakan ada langkah-langkah yang dapat diambil petani untuk merawat ternak mereka selama gelombang panas ekstrem, tetapi hal itu tergantung pada kelayakannya.
Dia menyarankan untuk meningkatkan sistem ventilasi dan pendinginan dan untuk produksi di luar ruangan, pakan tambahan dapat membantu mengatasi stres panas pada hewan dalam beberapa kasus.
Tapi langkah itu bisa menaikkan biaya, imbuhnya. Tambahan biaya itu mungkin menjadi masalah mengingat petani sudah berjibaku dengan meningkatnya biaya pakan ternak menyusul invasi Rusia ke Ukraina dan dampaknya terhadap pasokan pangan global.
“Dalam jangka panjang, cara paling efektif untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan melipatgandakan upaya kolektif kita guna mengurangi emisi rumah kaca secepat dan sekomprehensif mungkin,” katanya.*