Hidayatullah.com—China telah menjegal pernyataan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang isinya mengecam kudeta militer di Myanmar.
Hari Senin (1/2/2021) militer mengambil alih kekuasaan di Myanmar setelah menangkap tokoh politik Aung San Suu Kyii dan ratusan politisi serta anggota parlemen lainnya.
Sejak itu para pemimpin militer membentuk sebuah dewan tertinggi yang diposisikan membawahi kabinet.
Hari Selasa, DK-PBB menggelar pertemuan tetapi gagal mencapai sepakat soal pernyataan kecaman terhadap kudeta tersebut karena China menolaknya.
Untuk bisa mengeluarkan pernyataan kecaman tersebut DK-PBB harus mendapatkan dukungan China, salah satu anggota tetap dewan itu yang memiliki hak veto.
Menjelang pertemuan, utusan khusus Amerika Serikat untuk urusan Myanmar Christine Schraner mengecam keras pengambilalihan kekuasaan oleh tentara setelah militer menolak mengakui hasil pemilihan umum November 2020 yang dimenangkan telah oleh NLD, partai pemerintah pimpinan Suu Kyi.
“Sikap Beijing terhadap situasi ini konsisten dengan skeptisisme keseluruhannya terhadap intervensi internasional,” kata Sebastian Strangjo, penulis dan editor bagian Asia Tenggara di The Diplomat, kepada BBC Rabu (3/2/2021). Beberapa hari terakhir, China telah memperingatkan bahwa sanksi atau tekanan internasional hanya akan membuat situasi semakin buruk di dalam negeri itu.
Sementara China tidak memperoleh keuntungan strategis apabila Myanmar diasingkan oleh Barat, bukan berarti Beijing senang dengan kudeta tersebut, imbuhnya.
“Mereka (China) memiliki pertemanan yang cukup baik dengan NLD dan menginvestikan banyak untuk membina hubungan dengan Aung San Suu Kyi. Kembalinya militer memegang kekuasaan di pemerintahan Myanmar itu artinya pemerintah Beijing harus berhadapan dengan institusi di negara itu yang sejak lama sangat mencurigai gerak-gerik China.*