Kesimpulan ini, kata ahli bahan peledak dari TNI ini, dapat dilihat dari efek ledakan yang ditimbulkan, yakni meninggalkan warna hitam pada lokasi yang terkena ledakan. ”Yang jelas, efeknya hitam semua,” ujar sumber yang tidak ingin dikutip namanya ini.
Efek ledakan ini, lanjutnya, tidak berbeda dengan kasus pengeboman di depan rumah dubes Filipina di Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu bom teridentifikasi berbahan baku C4.
Ia memperkirakan lebih dari lima kilogram C4 dibutuhkan untuk menimbulkan ledakan yang dahsyat dengan kerusakan yang begitu parah.
Bahan peledak jenis ini, ujarnya, tidak dimiliki dan tidak digunakan satuan-satuan di dalam tubuh TNI. Ini sesuai dengan pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Ryamizard Ryacudu, di Seskoad, Bandung kemarin.
TNI, kata KSAD, hanya memiliki peledak jenis TNT, dan sama sekali tidak memiliki bom jenis C4. Oleh karena itu, menurut KSAD, peledakan tersebut bukanlah pekerjaan TNI.
Lebih lanjut ahli peledak itu mengungkapkan bahwa bahan peledak dengan daya rusak luar biasa itu digunakan oleh militer-militer luar negeri, seperti Amerika Serikat.
Lagipula, C4 termasuk langka. Dari sekian kali kasus pengeboman yang terjadi di tanah air, hanya satu kasus yang menggunakan bahan peledak jenis ini, yakni kasus pengeboman di depan rumah dubes Filipina di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Maka, kata sumber itu, bukanlah hal yang mengherankan jika C4 dimasukkan secara gelap ke Indonesia. Sementara itu, pemantauannya sangat sulit dilakukan mengingat luasnya wilayah Indonesia. Pihak TNI sendiri, katanya, sebenarnya mempunyai alat deteksi khusus C4. ”Tapi, ‘kan alat ini tidak terdapat di semua tempat,” ujarnya.
Yazid Binzar, staf pengajar kimia ITB, menjelaskan C4 biasa digunakan untuk kepentingan militer. ”Cuma kalangan tertentu yang tahu betul resepnya sebab sangat dirahasiakan,” tandasnya. Ia menunjukkan bahwa hanya Jerman dan Amerika saja yang tahu seluk beluk bom yang satu ini.
Kalau benar bahan peledak itu C4, maka dapat dipastikan bahwa itu tidak diproduksi oleh PT Pindad, Bandung. Peter Hermanus, ahli senjata dan amunisi dari PT Pindad, yang dihubungi Republika per telepon kemarin menjelaskan PT Pindad memproduksi bahan peledak jenis TNT dan ANVO.
Kabahumas Mabes Polri, Irjen Pol Saleh Saaf, mengatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki jenis bom yang meledak di Bali. Kendati belum tuntas, Saleh mengatakan bahwa ledakan itu mirip dengan yang terjadi di depan rumah kediaman Dubes Filipina di Jakarta. Saat itu polisi menyimpulkan bahwa bom tersebut berjenis C4/RDX, dengan daya ledak yang luar biasa.
Lalu apakah bom di Bali itu jenis C4? Saleh tidak mau berkomentar. ”Saya ‘kan hanya ngomong kesamaan daya ledaknya, seperti di Kedutaan Filipina, belum ke jenisnya,” katanya kemarin.
Tetapi, menurut sumber di Mabes Polri, bom itu diduga kuat berjenis C4. Ini terlihat dari ciri-ciri ledakan yang menimbulkan guncangan hebat dan diikuti api dengan pembakaran tinggi. Apa yang terjadi di Bali, selain gedung-gedung hancur berantakan, juga timbul kobaran api yang luar biasa.
Selain itu, kata sumber itu, korban ledakan juga memperlihatkan tanda-tanda yang berbeda dengan korban ledakan bom biasa. Pada ledakan bom biasa, seperti berjenis TNT atau bom rakitan, tubuh korban yang hangus, berwarna hitam. Namun, pada ledakan bom C4, korban hangus, tetapi tidak gosong.
Dari mana bahan peledak itu berasal? Akankah dari luar negeri? Tidak ada yang tahu pasti. Kabarnya, dua pekan sebelum kejadian ledakan, kapal perang AS dan Australia berlabuh di Pelabuhan Benoa, Bali. (rep/aan/c21/lhk)