Hidayatullah.com–Asrama putri Pesantren Hidayatullah di Sipora Mentawai (Sumbar), Jumat, 22 Agustus 2003 sekitar pukul 01.30 dinihari lalu terbakar. Si jago merah melalap bangunan yang terbuat dari kayu meranti itu tanpa menyisakan barang utuh secuil pun. Di dalamnya, tinggal 12 santri putri asli Mentawai. Beberapa di antaranya merupakan muallaf yang baru menghuni pesantren beberapa hari. “Usianya rata-rata masih remaja sehingga semangat belajarnya masih menyala-nyala,” kata Ust Mustaqim Dalang, pimpinan pesantren. Bangunan itu juga menjadi tempat persediaan logistik. Sembako, pakaian, buku-buku, sampai peralatan pengajian seperti wareless tersimpan di situ. Alhasil, semua habis. Mustaqim yang saat kejadian sedang berada di Padang (berjarak 100 km, 10 jam perjalanan dengan kapal ferry), bisa membayangkan, betapa repotnya para santri yang jumlahnya mencapai sekitar 50 orang. “Ustadz Adam, salah satu pembina di sana, menceritakan via telepon, bahwa anak-anak sedang cari cara untuk memasak. Sembako untuk persediaan satu bulan sudah habis, masak pun tidak ada peralatannya,” masih kata Mustaqim. Padahal selama ini, urusan sembako menjadi hal yang agak repot di Mentawai. Minyak, gula, bumbu-bumbu, semuanya harus didatangkan dari seberang (maksudnya Padang). Kalau beli di Sipora, harganya berlipat-lipat mahalnya. Apalagi saat ini, ketika Samudera Indonesia yang mengitari pulau Sipora sedang dilanda badai, terasa makin mahal saja. Dompet Mustaqim sendiri diakuinya sedang cekak, karena baru saja digunakan untuk acara studi banding tentang kepesantrenan di Jakarta. Akibat kebakaran itu, kerugian ditaksir mencapai sekitar Rp 75 juta. Bangunannya sendiri bernilai sekitar Rp 50 juta, dan sisanya adalah senilai barang-barang yang hangus di dalamnya. Tentang sebab-sebab kebakaran, masih simpang siur. Menurut Mustaqim, ada beberapa dugaan. Pertama, karena kelalaian santri sendiri. Misalnya teledor menggunakan obat nyamuk. Maklum, kawasan pesantren yang masih dikelilingi semak belukar itu memang mirip sarang nyamuk. Kalau tidak dikasih penangkal seperti obat nyamuk bakar atau oles, para santri tak akan bisa nyenyak tidurnya. Sementara waktu tidur yang ada cukup singkat karena mereka harus bangun malam sekitar pukul 03.00 untuk shalat lail. Kedua, karena hubungan arus pendek. Ini lazim terjadi. Ketiga, tampaknya ini yang cukup masuk akal, yakni karena “ulah” orang luar. Ada beberapa alasan kenapa faktor ketiga ini yang paling mungkin terjadi. Menurut penuturan beberapa warga yang tinggal di dekat pesantren dan menyaksikan kejadian itu, asrama putri terbakar mulai dari dinding bagian luar. Saat itu, listrik masih menyala. Ini sekaligus mematahkan dugaan adanya hubungan arus pendek sebagai penyebab kebakaran. Seorang santri pun bertutur, sempat melihat bayangan hitam mengendap-endap, beberapa saat sebelum api menjalar. Namun si santri ini cuek saja, karena mengira itu santri yang sedang piket malam. Sudah jadi kebiasaan di Pesantren Hidayatullah, bahwa ada santri yang piket dan bertugas membangunkan teman-temannya ketika saat shalat lail tiba. Namun ketika si santri hendak memejamkan matanya yang baru saja terjaga, tiba-tiba badannya terasa hangat, lalu lama-lama panas. Ruangan asrama putri menjadi terang benderang. Ternyata api telah melahap dinding asrama, di berbagai sudut bangunan. Si santri segera membangunkan teman-temannya, dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari amukan api. Yang lain turut tergopoh-gopoh. Saking paniknya, sampai-sampai ada yang lupa mengenakan jilbab. Sampai saat ini pihak kepolisian sektor Sipora sedang mengusut peristiwa yang menghebohkan warga Dusun Sipora Jaya, lokasi dimana pesantren itu berada. Menurut Mustaqim, pengusutan polisi cenderung mengarah kepada faktor ketiga tadi, yakni adanya ulah pihak luar. “Namun belum bisa disimpulkan begitu, masih perlu dicari bukti-bukti yang kuat,” tutur pria kelahiran Flores (NTT) ini. Mustaqim sendiri mengimbau, agar para santri dan semua pihak tidak berspekulasi ini itu. “Tunggulah penyelidikan aparat, dan biar mereka yang merumuskan kesimpulannya. Jangan berspekulasi, nanti malah menimbulkan fitnah dan merusak ukhuwah.” Saat ini Mustaqim, asatidz, dan para santri sedang berpikir keras untuk bertahan hidup. Sebagai langkah sementara, Mustaqim terpaksa hutang beras 1/2 ton dari seorang pedagang di Padang. Beras seberat itu bernilai kira-kira Rp 1,1 juta. “Semoga segera ada rezeki untuk melunasinya.” Pesantren Hidayatullah selama ini dikenal memiliki dai yang ditugaskan di berbagai pelosok hutan dan belantara guna menyampaikan misi dakwah, khususnya di daerah pedalaman. Tak urung, musibah ini ikut memperlambat dakwah di kawasan pedalaman. (pam/cha)