Hidayatullah.com–Pemerintah Indonesia menetapkan hari Raya Idul Adha 1425 Hijriah tetap jatuh pada Jumat (21/1), meskipun pemerintah Arab Saudi telah meralat keputusannya dengan menetapkan wukuf di Arafah jatuh pada Rabu (19/1). “Kita tidak terpengaruh dengan hasil yang diputuskan oleh Arab Saudi,” kata Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama (Depag), Taufiq Kamil, di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Depag melalui keputusan Menteri Agama Nomor 15/2005 tertanggal 12 Januari 2005, telah menetapkan 1 Dzulhijah 1425 jatuh pada Rabu, (19/1) sehingga Idul Adha tanggal 10 Dzulhijah jatuh pada Jumat (21/1).
“Keputusan itu diambil berdasarkan hasil perhitungan hisab dan laporan pelaksanaan rukyat pada 10 Januari atau 29 Dzuqa`dah oleh Badan Hisab Rukyat Depag yang menyatakan tidak melihat hilal (munculnya bulan baru),” kata Taufik.
Selain itu berdasarkan sistem hisab posisi hilal pada 29 Dzuqa`dah berada pada minus 0,5 derajat sampai 2,5 derajat di bawah ufuk, sehingga mustahil hilal dapat terlihat.
“Keputusan kita itu sudah sama dengan penetapan pemerintah Arab Saudi pada hari yang sama (12/1), bahwa wukuf di Arafah 9 Dzulhijah jatuh pada Kamis (20/1), sehingga Idul Adha jatuh pada Jumat (21/1),” ujar Taufiq.
Namun dua hari kemudian, pemerintah Arab Saudi meralat keputusan tersebut menjadi maju satu hari (wukuf jatuh pada Rabu,19/1), dengan alasan ada pihak-pihak yang dipercaya yang melaporkan telah melihat hilal.
Terhadap perubahan oleh pemerintah Arab Saudi itu, pemerintah Indonesia menyatakan tidak terpengaruh dan tetap memutuskan Idul Adha jatuh pada Jumat (21/1).
Mengenai jalannya ibadah haji di tanah suci, Taufiq Kamil mengatakan bahwa perencanaan pelayanan haji juga tidak terpengaruh oleh perubahan itu.
“Hal seperti itu kerap kali terjadi, dan kita segera menyesuaikan, sehingga tidak ada masalah,” katanya.
Ia menambahkan keputusan yang diambil oleh pemerintah Arab Saudi tidak didasarkan pada masalah politik apalagi ekonomis, tetapi hal itu murni masalah syariah.
Keputusan yang diambil pemerintah sesuai dengan keputusan yang diambil dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sehingga kemungkinan besar tidak akan ada perbedaan dalam pelaksanaan Hari Raya Idul Adha.
Saling Menghormati
Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga menetapkan Idul Adha jatuh pada Jumat (21/1), sehingga puasa Arafah jatuh pada Kamis (20/1). Keputusan itu ditetapkan PP Muhammadiyah dalam rapat bersama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Gedung PP Yogyakarta, Senin (17/1) kemarin.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr HA Syafii Maarif, keputusan itu diambil sesuai dengan hasil hisab. Keputusan pemerintah dan Muhammadiyah itu berbeda dengan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah pada Rabu (19/1) dan Idul Adha pada Kamis (20/1).
Penetapan Idul Adha pada 21 Januari, menurut Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama (Depag), Taufiq Kamil, didasarkan pada hasil hisab dan rukyat pada 10 Januari oleh Badan Hisab Rukyat Depag. Saat itu tak terlihat hilal (bulan baru). Posisi hilal pada 29 Dzulqaidah (10 Januari) berada pada -0,5 derajat sampai -2,5 derajat di bawah ufuk, sehingga mustahil hilal dapat terlihat.
Rukyat yang dilakukan pada 10 Januari di 35 tempat, antara lain, di Ambon, Kupang, Mataram, Gorontalo, Makasar, Jakarta, Riau, dan Medan, semuanya menyatakan bahwa hilal awal Dzulhijjah tidak kelihatan. ”Hal ini sesuai dengan data hisab yang ada. Dengan demikian, bulan Dzulqaidah digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Dzulhijjah 1425 H jatuh pada Rabu, 12 Januari 2005,” kata Taufik di Jakarta, Senin (17/1).
Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam siaran persnya menyatakan akan mengikuti Arab Saudi untuk puasa Arafah pada Rabu (19/1), dan Idul Adha pada Kamis (20/1). ”Kita mengimbau agar umat Islam saling menghormati dan bersikap toleran terhadap umat Islam yang melakukan puasa Arafah dan Idul Adha yang berbeda,” kata Sjafii. (ant/el/rep/cha)