Hidayatullah.com, Menurut MUI, fatwa MUI tidak mengharamkan penempatan tenaga kerja wanita (TKW) untuk bekerja di luar negeri sepanjang pemerintah, lembaga dan pihak terkait menjamin dan melindungi keamanan dan kehormatan TKW tersebut. Menurut Sekjen MUI Din Syamsuddin pada acara silaturahmi dengan pengurus asosiasi perusahaan jasa TKI (Apjati) di Jakarta, Senin sore, (7/2) mengatakan, fatwa itu dibuat pada tahun 2000 tersebut posisinya lebih tinggi dari fatwa biasa karena dibuat di acara Munas.
Fatwa yang dibuat di sidang pleno MUI itu menurut Din, ditandatangani oleh Umar Shihab (Ketua MUI) dan Din Syamsuddin (Sekretaris) memuat lima putusan setelah memperhatikan lima alasan. Pada keputusan pertama dikatakan, perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri pada prinsipnya boleh sepanjang disertai "mahram" atau keluarga atau lembaga/kelompok perempuan yang terpercaya (niswah tsiqah).
Keputusan kedua, jika tidak disertai "mahram" atau "niswah tsiqah", hukumnya haram kecuali dalam keadaan darurat yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i atau agama, qanuniy (peraturan perundangan), dan ‘adiy (adat istiadat) serta dapat menjamin keamanan dan kehormatan tenaga kerja wanita tersebut.
Keputusan ketiga, hukum haram berlaku kepada pihak-pihak, lembaga atau perorangan yang mengirimkan atau yang terlibat dengan pengiriman TKW seperti yang dimaksud pada keputusan kedua, demikian juga berlaku pada pihak yang menerimanya.
Keputusan ke empat, oleh karena itu mewajibkan kepada Pemerintah lembaga dan pihak terkait lainnya untuk menjamin dan melindungi keamanan serta kehormatan TKW dengan membentuk kelompok/lembaga perlindungan hukum atau kelompok "niswah tsiqah" di setiap negera tertentu dan kota-kota tertentu untuk menjamin dan melindungi keamanan serta kehormatan TKW.
Menurut Din, keputusan keempat tersebut membolehkan Pemerintah untuk menempatkan TKW ke luar negeri karena mencari pekerjaan bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat . Disebutkannya, pada klausul "mengingat" di fatwa tersebut dikatakan hajat (kebutuhan sekunder) yang masyhur, menempati darurat, dan kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang atau diharamkan.
Dengan demikian, pemerintah boleh menempatkan TKW ke luar negeri dengan memberikan jaminan, melindungi keamanan dan kehormatan TKW tersebut. Fatwa tersebut, diminta oleh pihak Depnaker saat itu untuk menjadi acuan dalam menempatkan TKW ke luar negeri setelah adanya pro dan kontra saat itu (tahun 2000).
Sebelumnya, Rabu, (2/2) MUI mengeluarkan fatwa karena adanya desakan banyak pihak termasuk Komisi VI DPR RI agar perempuan tidak boleh menjadi TKW tanpa adanya perlindungan dari negara. Kalangan DPR RI beberapa kali mengusulkan pada pemerintah untuk membatasi pengiriman TKW setelah mengetahui banyak kasus TKW Indonesia yang diperjualbelikan.
Sebagaimana diketahui, pengiriman TKW ke luar negeri sering sarat dengan masalah karena tidak adanya perlindungan bagi para pekerja. Banyak kasus terjadi, para TKW disiksa atau diperlakukan semena-mena. Meski demikian, penangannya tetap terlunta-lunta hingga kini. Kondisi itulah yang membuat berbagai pihak untuk mengeluarkan fatwa.(ant/hid/cha)