Jum’at. 14 Oktober 2005
Hidayatullah.com–Mantan Presiden dan pendiri Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J. Habibie, melakukan pertemuan tertutup dengan sejumlah tokoh organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), di kediamannya, Jalan Patra Kuningan, Jakarta, Kamis malam.
Menurut Ketua Umum ICMI, Muslimin Nasution, dalam pertemuan yang didahului berbuka puasa bersama itu, Habibie, sejumlah tokoh ICMI serta organisasi-organisasi massa Islam itu bertukar pikiran mengenai masalah terorisme.
Pertemuan itu ditujukan untuk mendengarkan pemaparan Habibie tentang pandangan dunia Barat tentang terorisme, terutama yang stigmanya ditempelkan kepada Islam.
"Kebetulan Pak Habibie banyak sekali memberikan ceramah (di luar negeri, red), mencoba menjernihkan soal terorisme ini, apakah betul umat Islam itu teroris, yang selalu dipasang stigma itu," kata Muslimin.
Menurut Muslimin , dalam memberikan ceramah-ceramah di luar negeri, Habibie selalu mengatakan bahwa Islam sama sekali bukan teroris meskipun ada segelintir orang yang melakukan tindakan radikal dan memojokkan Islam.
Habibie juga selalu menyampaikan bahwa Islam adalah agama pembawa rahmat (rahmatan lil alamin).
"Karenanya dalam pertemuan ini kita ingin berdialog dengan Pak Habibie, bagaimana beliau melihat itu dari kacamata pandangan Barat, baik Amerika maupun Eropa, dan bagaimana kita melihat melalui kacamata dalam negeri," kata Muslimin.
Ia memaparkan bahwa Habibie, yang diberi hak tinggal di Jerman seumur hidup oleh pemerintah setempat, kerap diangkat sebagai penasehat oleh Pemerintah Jerman, termasuk dimintai pandangannya tentang Pemilu Jerman baru-baru ini.
"Negara-negara Eropa juga sering memakai beliau sebagai penasehat, terutama dalam menghadapi terorisme. Jadi kenapa kita tidak memanfaatkan juga pemikiran-pemikiran Pak Habibie yang kerap dimanfaatkan oleh negara Barat," kata Muslimin.
Di Indonesia sendiri, menurut Ketua Umum ICMI itu, aktor intelektual di balik terorisme masih menjadi pertanyaan besar dan selama aktor tersebut tidak ditemukan, Indonesia akan sulit mengungkap kasus-kasus pemboman.
"Tidak akan terselesaikan masalahnya selama kita tidak bisa menemukan penyebab utama atau aktor intelektualnya…karena kita menganggap ini bukan sekedar anak pondok (pesantren, red) bisa bikin begini (pemboman, red). Tapi pasti ada aktor-aktor tertentu," kata Muslimin.
Mengomentari pertanyaan tentang bagaimana Pemerintah Indonesia menangani kasus-kasus pemboman, Muslimin melihat bahwa Pemerintah sebenarnya sudah bekerja keras, namun bagaimanapun masalah tersebut tidak mudah diselesaikan.
Menyelesaikan masalah terorisme baik bagi Indonesia maupun negara mana pun tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Tidak bisa menyalahkan pemerintah, kok lambat. Karena di balik itu suatu rekayasa besar…Tidak mudah mengejar pelaku terorisme, lebih susah daripada perang gerilya. Dia (teroris) di mana-mana bisa timbul, apalagi kalau kita lihat teknologinya sudah canggih-canggih," kata Muslimin.
Tokoh-tokoh Islam dan ormas Islam yang hadir antara lain Hasballah M. Saad (tokoh Aceh), Salahuddin Wahid (PBNU), Fauzan Al Ansyori (MMI), Muhammad Sobri Lubis (FPI), A.M. Lutfi (Dewan Dakwan Islam Indonesia), Dody S Truna (Persis).
Tokoh-tokoh ICMI yang hadir antara lain Malik Fadjar, Tarmidzi Taher, Bismar Siregar, Setyanto P Santosa, dan Haryanto Dhanutirto. (ant/cha)