Hidayatullah.com–”Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Theo Sambuaga. Ia meminta masyarakat menghindari tindakan-tindakan yang dapat mengganggu hubungan RI dan Malaysia, terkait protes terhadap negeri jiran itu yang telah mengklaim sejumlah seni budaya Indonesia.
“Aksi ‘sweeping’ terhadap warga Malaysia, membakar bendera atau tindakan anarkis lainnya, tidak dibenarkan secara hukum dan amat mengganggu hubungan antar-bangsa yang bermartabat,” katanya di Jakarta, Rabu, menanggapi aksi “sweeping” Kelompok Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (8/9).
Aksi “sweeping” itu sendiri, menurut para aktivis Bendera, dilakukan sebagai protes atas sikap pemerintah yang lamban dan kurang tegas menyikapi tindakan Malaysia yang telah “mempreteli” kekayaan budaya nusantara dan memprovokasi tapal batas NKRI dengan Malaysia.
Theo Sambuaga mengatakan, aksi protes terhadap sikap Malaysia itu boleh-boleh saja dilakukan, tetapi tidak harus diikuti dengan berbagai tindakan fisik yang tidak dibenarkan oleh hukum maupun penghargaan terhadap HAM, seperti aksi “sweeping” itu.
Karena itu, kata Theo yang dihubungi di sela-sela rapat pembahasan RUU Rahasia Negara, para aktivis yang memimpin demonstrasi itu diharapkan dapat ikut mendinginkan suasana, dan tidak mengambil langkah sendiri-sendiri yang melanggar hukum.
Akar Budaya Sama
Sementara itu di tempat berbeda, budayawan Tenas Effendy mengatakan, Indonesia dan Malaysia sebenarnya memiliki akar budaya yang sama. Buktinya, tanah semenanjung dulunya bersatu. Kerajaan Riau pernah berpusat di Johor, dan sebaliknya kerajaan Johor pernah berpusat di Bintan, Kepulauan Riau. Dari akar budaya inilah lahir bahasa Melayu yang kemudian di Indonesia menjadi bahasa nasional.
Pernyataan Tenas disampaikan saat menyampaikan orasi budaya Malaysia di Perpustakaan Daerah Soeman Hs, Rabu (9/9). Berdasarkan sejarah, tanah semanjung itu baru dipisah pada tahun 1824 seiring keluarnya Traktat (Perjanjian) London. Traktat itu membagi tanah semenanjung menjadi dua bagian.
“Tanah Semenanjung Atas dijajah Inggris. Sedangkan Semenanjung Bawah dijajah Belanda. Pada perkembangan selanjutnya, Semenanjung Atas inilah menjadi Malaysia dan Semenanjung Bawah merupakan Indonesia. Sejak itu pula, secara administrasi pemerintahan kita berpisah. Tapi budaya tetap satu,” tuturnya.
Akar budaya itu dibawa pendatang dari tanah Jawa, Bugis, Riau, Minang, Batak, Banjar, dan Bugis ke Malaysia. Karena menetap dalam waktu yang lama, mereka beranak pinak dan telah menjadi Malaysia. Tetapi meski telah menjadi orang Malaysia, mereka tetap membawa budaya leluhurnya hingga sekarang.
Makanya, kata Tenas, jangan heran jika berkunjung ke Johor dan Kuala Lumpur, budaya Jawa itu sangat kentara. Begitu juga saat berada di Negeri Sembilan, dari bahasa hingga arsitektur rumah mirip dengan bangunan Rumah Lontiak, rumah tradisional Kampar (Riau) ataupun menyerupai Rumah Gonjong di Sumatera Barat (Sumbar).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Budaya kita sama. Kalau di sana (Malaysia) berkembang, mestinya budaya kita jaga. Bagaimana pun budaya merupakan salah satu wadah yang dapat mengurai hubungan satu bangsa dengan bangsa lain. Budaya itu bersifat kokoh dan universal. Beda dengan politik, pagi hari kita masih terteman, tetapi sorenya bisa menjadi bermusuhan,” tukas Tenas.
Oleh sebab itu, guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini meminta semua pihak memahami budaya secara arti keturunan, bukan dalam arti politik. Apalagi budaya Melayu mengajarkan kita untuk selalu berlapang dada, arif, bersifat baik, dan selalu menjaga tali bersaudaraan. [ant, anl/hidayatullah.com]