Hidayatullah.com- Ada yang berbeda dari Muktamar Satu Abad Muhammadiyah kali ini. Bila Muktamar Muhammadiyah bergelimang dengan fasilitas lengkap, namun Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) menyelenggarakan acaranya di masjid kampung yang tidak jauh dari arena muktamar. Fasilitasnya pun seadanya.
MTDK menyelenggarakan pertemuan dengan tema “Temu Da’i Terpencil Tingkat Nasional”. Kegiatan yang diselenggarakan sejak 4 hingga 6 Juli 2010 ini sengaja mengambil momentum Muktamar Muhammadiyah agar bisa menghemat biaya.
Karena sebagian da’i terpencil ini ada yang merangkap sebagai peserta Muktamar, dan sebagian lagi sebagai penggembira.
“MTDK memiliki 157 da’i yang disebarkan di daerah terpencil, dan yang bisa datang ke arena Muktamar ini hanya 35 orang. Mereka berasal dari Papua, NTT, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,” jelas Wakil Sekretaris MTDK PP. Muhammadiyah, Risman Muchtar kepada Hidayatullah.com Senin (5/7).
Menurut Risman, para da’i terpencil ini dikumpulkan untuk melakukan konsolidasi daerah, meningkatkan kualifikasi mereka, sekaligus menyamakan persepsi terhadap langkah dakwah Muhammadiyah di daerah masing-masing.
Selain itu, dalam salah satu sesi temu da’i ini juga akan dimanfaatkan untuk membedah buku “Strategi Menghadapi Kristenisasi dan Pemurtadan” yang diterbitkan oleh MTDK PP. Muhammadiyah.
“Ini akan kami bedah dan dibagikan kepada setiap da’i terpencil tersebut, dengan harapan bisa menjadi panduan mereka nanti,” tambah Risman.
Diakui pria yang kerap dipanggil Buya Risman ini, jumlah da’i Muhammadiyah saat ini belum seberapa dibandingkan ribuan daerah terpencil yang ada di Indonesia, sehingga prioritas MTDK PP. Muhammadiyah baru di Indonesia Timur, seperti NTT, Papua dan Sulawesi.
“Da’i terpencil ini diberikan mukafaah (gaji-red) yang tidak seberapa untuk setiap bulan, dan sebagian lagi diberi modal agar bisa mandiri di kemudian hari,” jelas Risman. Untuk itu pihaknya telah menjalin kerjasama dengan Badan Amil Zakat BNI, Lazis Muhammadiyah, dan Dompet Dhuafa. “Namun kami akui jumlahnya mungkin tidak pantas untuk disebut gaji, karena umumnya da’i terpencil itu cuma kami berikan Rp 500 ribu rupiah,” ungkapnya. [jid/hidayatullah.com]