Hidayatullah.com–Sebelum reformasi, wewenang masalah penyiaran dipegang penuh oleh pemerintah. Di era reformasi berdasarkan UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, wewenang itu diambil alih oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Sayangnya, menurut Anggota Komisioner KPI Pusat, Azimah Soebagjo, implementasi UU tersebut tidak sesuai harapan.
“Pemerintah masih ikut juga sebagai regulator selain KPI,” kata Azimah Soebagjo, kepada hidayatullah.com, Jumat (22/10). Pemerintah, kata Azimah, saat ini masih jadi aktor utama dalam berbagai perizinan penyiaran. Padahal KPI adalah wakil publik yang dipilih oleh DPR RI melalui serangkaian tes. Untuk itu, lanjut Azimah, dalam Rapat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) KPI beberapa hari lalu salah satu hasil rekomendasinya adalah revisi UU Penyiaran untuk mengembalikan kewenangan KPI sebagai regulator tunggal dalam penyiaran. KPI ini juga akan melakukan sosialisasi secara intensif perubahan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Sedangkan di bidang perizinan, Rapimnas KPI memutuskan Standard Operating Procedure (SOP) perizinan yang lebih efektif dan efisien dalam proses perizinan. Untuk itu, KPI mewajibkan kepada lembaga penyiaran untuk mengikuti proses perizinan sesuai dengan SOP yang ditetapkan KPI.
Dalam pelaksanaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ), Rapimnas KPI sepakat untuk melaksanakan SSJ sebagaimana diamanatkan UU Penyiaran 2002. Untuk itu, demi kepastian hukum, KPI mendesak pemerintah untuk segera menerapkan dan melaksanakan sistem stasiun jaringan secara konsisten.
Rapimnas KPI diselenggarakan di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 18-20 Oktober 2010. Rapimnas diikuti oleh Ketua, Wakil Ketua serta Kepala Sekretariat KPI Pusat dan 29 KPI Daerah (KPID) yang sudah terbentuk di Indonesia.
Perlu diketahui, hingga saat ini, empat provinsi yang belum membentuk KPID adalah KPID Bangka Belitung, Jambi, Maluku Utara, dan DKI Jakarta. [syaf/hidayatullah.com]