Hidayatullah.com–Gejolak sosial atau konflik yang terjadi di dalam masyarakat karena berbagai sebab, di antaranya bermuara dari kebijakan pembangunan yang kurang tepat dari pemerintah. Salah satu konflik yang mudah dan sering terjadi di masyarakat Indonesia adalah konflik karena agama, baik karena perbuatan penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia maupun karena persoalan pendirian rumah ibadah.
Persoalan semakin rumit dan berlarut karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah, sehingga terjadi konflik antarpemeluk agama dan antarsesama pemeluk agama.
Demikian pendapat Prof. Dr. Edi Setiadi, SH, MH yang disampaikan dalam diskusi penel, ”Menyoroti Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 09 dan 08 Tahun 2006” di kampus Universitas Islam Bandung (Unisba), Selasa (26/10).
Lebih lanjut Guru Besar Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana Unisba ini mengatakan bahwa peraturan tersebut lebih ditujukan kepada pengawasan terhadap tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah.
”Keputusan ini tidak ada hal-hal yang bersifat krusial, kecuali isi norma yang terkandung di dalamnya semuanya bersifat sumir,” jelas Edi.
Edi mencontohkan pasal 13 ayat 1 yang berbunyi: Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata . Seharusnya, sambung Edi, ukuran keperluan nyata ini harus dapat dikonkritkan. Pasal dan ayat tersebut masih menimbulkan multi tafsir dan tidak dapat dijelaskan maksudnya. Sehingga rumusan seperti ini akan menyebabkan orang atau sekelompok orang penganut agama akan melakukan perbuatan yang coba-coba dalam hal pendirian rumah ibadah.
Kelemahan Peraturan Bersama 2 Menteri ini karena kepala daerah tidak mempunyai kewenangan eksekusi sehingga dimungkinkan konflik terhadap pelanggaran peraturan ini akan berlarut-larut, mengingat solusi penyelesaiannya tetap berada di tangan pengadilan.
”Penyelesaian di pengadilan pun akan bersifat perdata dan administrasi sehingga hanya akan menimbulkan pengulangan pelanggaran peraturan tersebut,” imbuhnya.
Ditanya soal kasus Ahmadiyah, Edi menjawab bahwa secara spesifik aturan bersama ini lebih kongkrit, yaitu melarang kelompok Ahmadiyah untuk menyiarkan, menafsirkan ajaran agama yang ada kaitannya dengan keyakinan agama Islam terutama dalam hal keyakinan Nabi terakhir.
”Kuncinya Ahmadiyah tunduk pada aturan ini dan pemerintah tegas melaksanakan aturan yang telah dibuatnya,” jelas Edi.
Sementara itu Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si yang juga hadir sebagai panelis berpendapat bahwa timbulnya berbagai konflik antarumat beragama salah satunya disebabkan kesadaran beragama masih rendah.
”Kita bisa lihat umat Islam sendiri kesadaran untuk menuntut ilmu agama dan mempraktikannya secara baik dan benar juga masih rendah, misal kesadaran shalat berjamaah di masjid,” kata Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini memberi mencontoh.
Namun Dadang tidak setuju jika konflik antarumat beragama tersebut disebabkan rendahnya toleransi umat Islam. ”Harus diakui umat Islam mempunyai sikap toleransi yang tinggi namun justru sering dimanfaatkan umat lain secara salah,” pungkas Dadang. [man/hidayatullah.com]